Perkembangan teknologi digital membawa kemudahan luar biasa bagi kehidupan manusia, namun juga menghadirkan tantangan baru yang kerap tidak disadari. Di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Agustus 2025 terdapat 6.402 konten bermuatan radikalisme beredar di media sosial. Fakta ini menggambarkan betapa masifnya penyebaran ideologi ekstrem di ruang digital, dengan anak-anak dan remaja sebagai sasaran paling rentan.
Meskipun frekuensi aksi teror menurun, ancaman ideologis masih membayangi. Sepanjang 2018–2024, 1.703 tersangka terorisme berhasil diamankan aparat keamanan. Data ini menegaskan bahwa jaringan ekstremis tetap aktif dan semakin adaptif, menyesuaikan strategi mereka dengan dinamika masyarakat digital. Salah satu bentuk adaptasi yang kini mengemuka adalah pemanfaatan game online sebagai medium penyebaran ideologi radikal.
Game online, yang awalnya dirancang sebagai hiburan interaktif, kini berkembang menjadi ruang sosial tanpa batas. Platform seperti Roblox menjadi contoh nyata bagaimana permainan daring dapat dimanfaatkan sebagai sarana penyebaran narasi kebencian. Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono mengungkapkan, sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia telah terhubung melalui permainan daring Roblox, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan simpatisan teroris.
Fenomena tersebut menandai perubahan pola radikalisasi, yakni berawal dari perekrutan fisik menjadi infiltrasi digital. Di ruang permainan, anak-anak berinteraksi dengan pemain dari seluruh dunia tanpa batas pengawasan. Percakapan ringan di ruang obrolan dapat menjadi pintu masuk bagi propaganda ekstrem yang dikemas secara persuasif dan emosional.
Kasus serupa terjadi di Singapura pada Februari 2023. Media The Diplomat melaporkan dua remaja berusia 15 dan 16 tahun yang direkrut secara daring melalui game Roblox. Mereka bahkan merencanakan aksi teror dan memproduksi video propaganda berbasis permainan. Kasus ini membuktikan bahwa game bukan lagi sekadar hiburan digital, tetapi telah menjadi sarana ideologisasi yang efektif.
Menurut data Statista (2024), jumlah pemain game global akan mencapai 3,1 miliar orang pada 2027, dengan Indonesia menyumbang lebih dari 53 juta pemain pada 2023. Populasi besar ini menjadikan industri game sebagai ekosistem sosial yang potensial dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda.
Penelitian Koehler dkk. (2022) menunjukkan bahwa kelompok ekstremis kini memanfaatkan platform game daring sebagai ruang komunikasi dan rekrutmen. Narasi kekerasan yang sering muncul dalam permainan berpotensi membentuk persepsi keliru bahwa tindakan brutal adalah hal yang wajar atau heroik.
Laporan Radicalisation Awareness Network (2021) memperkuat temuan ini, meski game tidak langsung menyebabkan ekstremisme kekerasan, platform tersebut telah menjadi tempat interaksi, penyebaran propaganda, dan perekrutan anggota baru. Game seperti Call of Duty dan Fortnite bahkan pernah digunakan untuk menyebarkan pesan ideologis secara terselubung.
Menghadapi ancaman ini, keluarga harus menjadi benteng pertama pertahanan ideologis. Orang tua perlu memahami dunia digital anak, memantau aktivitas daring, serta menanamkan nilai kebangsaan dan toleransi. Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan mengenali manipulasi informasi dan ajakan radikal.
Di sisi lain, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap industri game online. Regulasi tidak cukup hanya membatasi kekerasan visual, melainkan juga harus mencakup sistem komunikasi, komunitas, dan konten pengguna. Kolaborasi antara pemerintah, pengembang game, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil menjadi langkah strategis untuk membangun ekosistem digital yang aman dan sehat bagi anak muda.
Radikalisasi digital melalui game online adalah bentuk baru dari ancaman terorisme di era modern. Ia bekerja secara senyap, menyusup ke ruang pribadi anak-anak, dan menanamkan ideologi ekstrem dengan kemasan yang menghibur. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran publik, literasi digital, serta pengawasan proaktif menjadi langkah penting dalam melindungi generasi muda.
Anak-anak tidak bisa dipisahkan dari dunia digital, namun mereka dapat dibekali dengan kemampuan berpikir kritis untuk mengenali bahaya yang tersembunyi di balik layar. Menjaga mereka berarti menjaga masa depan bangsa agar tetap berpijak pada nilai kemanusiaan, kebhinekaan, dan kedewasaan berpikir di tengah derasnya arus teknologi.