Antara “FPI,” Demokrasi dan HAM

Antara “FPI,” Demokrasi dan HAM

- in Narasi
889
0
Antara “FPI,” Demokrasi dan HAM

Sebagaimana HTI, FPI pada dasarnya sudah (mesti) bubar dan menghilang batang hidungnya dengan diberlakukannya UU Ormas 2017. Tapi, pada kenyataannya, mereka tetap saja mewiridkan nama yang secara hukum tak lagi jelas statusnya itu. Pun, kiprah mereka seperti tak pernah lekang oleh panas dan hujan dengan arogansi yang masih sama pula. Haruskah kini, dengan kasus mutakhir yang melawan aparat negara, kepemilikan senjata api yang tentu saja untuk ukuran organisasi yang secara hukum tak jelas statusnya, mengerikan dan dapat menimbulkan kecemasan pada masyarakat Indonesia.

Setelah pembantaian di Sigi, yang dilakukan oleh MIT, dan fakta bahwa para pelaku yang merupakan pengikut Rizieq Shihab yang terbunuh beberapa waktu lalu masih berusia di bawah 30-an persis sebagaimana kebanyakan para pelaku aksi terorisme selama ini di Indonesia, sangat wajar seandainya kita memiliki asosiasi bahwa Rizieq dan para pengikutnya yang terbukti membawa dan menggunakan senjata api itu tak semata sekumpulan orang yang karib dengan radikalisme, tapi sudah mengarah pada terorisme.

Disahkannya UU Antiterorisme pada tahun 2018, atas maraknya berbagai kejahatan terorisme di Indonesia selama ini, adalah sebentuk upaya yang tak lagi bersifat penindakan, tapi sudah mengarah pada upaya pencegahan. Sebenarnya, ketika menengok AD/ART FPI dan kiprahnya selama ini di masyarakat, mereka sudah dapat bersinggungan dengan pasal 2 UU 5/2018 (Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil, Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id).

Ada memang pendapat para ahli yang memilih menggunakan pendekatan persuasif untuk menyikapi FPI dan kiprahnya selama ini, apalagi sekembalinya Rizieq dari Arab Saudi yang mengakhiri masa LDR-annya dengan para pengikutnya. Atas nama demokrasi, para ahli itu terlalu sabar pada segala aktivitas yang sudah mengarah pada pelecehan undang-undang dan hukum. Belum lagi berbagai laporan dari daerah oleh kalangan masyarakat sendiri dimana ketegangan dan bahkan kekisruhan yang terjadi di daerahnya yang jauh dari Jakarta bersumber dari sikap pro dan kontra atas keberadaan dan kiprah FPI akhir-akhir ini (Montase Radikalisme Kontemporer, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Pada tahun 2017, ketika apa yang pernah saya sebut sebagai populisme kanan menjadi kekuatan politik tersendiri di Indonesia, simpati pada gerakan-gerakan radikal keagamaan memang cukup meluas hingga ke pelosok-pelosok daerah. Pada tahun itu saya masih memakai pendekatan politik diskursif yang memungkinkan radikalisme dan terorisme tak semata “berbaju” FPI (Hikayat Kebohongan I, Heru Harjo Hutomo, https://islami.co). Radikalisme ala FPI saya kira sudah tak sekedar menjadi mindset sebagaimana para ahli mengatakan, tapi sudah menjadi habitus yang memungkinkan radikalisme itu dapat memakai gincu apa saja (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Kita dapat melihat berbagai struktur dan pola pergerakan yang mengarah pada radikalisme yang mirip antara satu kota dengan kota lainnya—seolah sudah terdapat skema atau plot tertentu yang dapat dimainkan oleh siapa saja dengan hasil yang senantiasa tak jauh berbeda, sebab hukum dirasakan sudah tak lagi menjadi panglima (Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemungkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Memang, pendekatan politik diskursif, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, belum menjadi suatu kelumrahan untuk menganalisa pola kejahatan yang bersifat nyata. Sifatnya yang kerap bersifat preventif tak jarang baru dapat dipahami ketika fakta sudah terjadi. Tapi dari berbagai analisa saya terbukti bahwa diskursus radikalisme, atas nama kebebasan berpendapat, seandainya dibiarkan akan menjadi sebuah senjata makan tuan.

Karena itulah saya berbeda dengan Abdurrahman Wahid yang dalam salah satu catatannya, ketika masih berupa ekspresi pemikiran, dianggap sebagai sebuah kewajaran (Sontoloyo, Sempalan, dan Gerakan-Gerakan Kutu Rambut, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Kepemilikan dan penggunaan senpi pada para aparat negara yang tengah bertugas cukup membuktikan bahwa FPI dan simpatisannya ataupun kumpulan orang yang sejenis bukanlah sebentuk kewajaran yang akan menghilang sendiri ketika dibiarkan.

Laiknya pluralisme yang dapat membunuh dirinya sendiri ketika tak dapat menarik dan menerapkan batas atasnya, saya kira demokrasi dan HAM pun tak urung akan membunuh dirinya sendiri ketika tak dapat pula menarik batas yang tegas. Tak perlu lagi saya menyitir Kanjeng Nabi Muhammad untuk tak perlu berlebihan dalam bersikap dan berbuat hal apapun. Cukup kembali saya sajikan sebuah penalaran: bagaimana mungkin sekumpulan orang yang notabene anti-pluralisme, yang otomatis, anti-demokrasi dan HAM sebagai turunannya, memakai semua ide besar itu ketika posisinya sudah terjepit? Barangkali, kita memang membutuhkan kuliah logika kembali agar penalaran-penalaran kita terasa jujur dan tak menghasilkan budaya ewuh-pakewuh. Tak sekedar nurani yang tak dapat bohong, akal sehat pun pada dasarnya tak pernah bohong.

Haruskah terjadi konflik antar masyarakat sendiri ketika pemerintah terlalu menjadi penyabar dalam mengelola konflik yang jelas-jelas terstruktur dan terpola yang sewaktu-waktu dapat meletup? Kepemimpinan seseorang, konon, adalah terletak pada keberaniannya dalam memutuskan sesuatu ketika kondisi sudah begitu mendesak. Saya masih ingat sebuah hadits yang mengatakan bahwa kesalahan dalam ber-ijtihad akan bernilai 1 pahala, sementara kebenaran dalam ber-ijtihad akan bernilai 2 pahala. Dengan demikian, dalam hal ini, membuat sebuah keputusan di saat kondisi yang kritis adalah sama dengan ber-ijtihad yang tentu saja bernilai ibadah.

Facebook Comments