Antara Kirim Fatihah dan Mengumbar Marah

Antara Kirim Fatihah dan Mengumbar Marah

- in Keagamaan
3288
0

Dunia maya kita rasanya masih belum bersih dari ungkapan-ungkapan kemarahan yang berserakan di pojok-pojok website maupun media sosial. Terutama setelah seorang selebriti melakukan ‘test pasar’ dengan menyatakan bahwa mengirim fatihah untuk orang yang sudah meninggal merupakan perilaku bid’ah. Beberapa orang yang tersinggung dengan konten tayangan ini mengambil sikap beragam, ada yang mengelus dada, tapi tidak sedikit pula yang misuh-misuh tidak terima.

Marah merupakan respon yang wajar, apalagi jika hal ini telah nyerempet ke persoalan keyakinan, tetapi jika marah tersebut diumbar dengan cara-cara yang kasar, tentu hal ini malah membuat pesan yang akan disampaikan berantakan tidak karuan. Akhirnya, sebuah kesalahan tidak jadi dibenarkan, karena kesalahan yang satu ditumpuk dengan kesalahan yang baru (marah-marah melulu).

Tulisan ini tidak akan berupaya untuk menambah sesak dunia maya dengan ungkapan-ungkapan kebencian terhadap si selebriti yang ‘katanya’ hanya mengikuti perintah atasan, lagi pula si selebriti yang bersangkutan sudah menyampaikan permohonan maaf dan menunjukkan penyesalan. Maka sudah sepatutnya kita memaafkan, meski harus pula diingat bahwa memaafkan tidak sama dengan melupakan; Maafkan kesalahannya, tetapi simpan hal itu dalam memori agar hal yang sama tidak lagi terjadi dikemudian hari. Dalam konteks ini, Memaafkan tentu jauh lebih baik daripada terus-terusan mengumbar kemarahan.

Jikapun apa yang disampaikan oleh selebriti tadi memang salah, kenapa pula harus marah? Sampaikan saja dengan elegan dimana letak kesalahannya, jelaskan pula bagaimana benarnya. Kita tidak boleh lupa, Islam adalah agama cinta; tidak doyan menghina apalagi berbuat kasar terhadap sesama. Prof. Daoed Joesoef pernah menyatakan bahwa Islam yang ada saat ini memang agak jauh dari semangat utamanya, Islam kerap kali ditampilkan secara serampangan oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai Religion of Fear, yakni agama yang menyebabkan ketakutan, cenderung merespon perbedaan dengan kekerasan.

Perdebatan perihal sampai tidaknya doa yang ditujukan untuk orang yang sudah meninggal telah menjadi bahan perdebatan sejak lama. Di satu sisi hal ini memang sangat membosankan, karena hadis dan penjelasan para ulama telah jelas memaparkan bahwa doa akan sampai. Namun di sisi lain, perdebatan tentang mana yang lebih benar selalu hangat untuk meramaikan proses belajar, khususnya belajar untuk teliti dan menghargai. Teliti dalam menangkap dan mempercayai informasi, dan menghargai perbedaan pandangan orang lain yang berbeda dengan pendapat pribadi.

Gus Dur suatu ketika pernah dimintai pendapat tentang sampai tidaknya kiriman fatihah yang ditujukan untuk jenazah, tanpa perlu ‘repot-repot’ melempar banyak dalil, Gus Dur menanggapi pertanyaan tersebut secara santai:

Gus, kirim al-Fatihah buat mayit sampai nggak?

Gus Dur: sampai.

Apa dalilnya Gus?

Gus Dur: Kirimannya ndak balik kan? Kalau ndak balik berarti sampai!

Tentu jawaban model “gitu aja kok repot” ala Gus dur di atas tidak dapat dijadikan sebagai landasan serius, tetapi paling tidak hal ini merupakan contoh nyata betapa masih ada banyak cara lain yang dapat digunakan untuk merespon persoalan di atas. Tidak perlu marah jika hal itu nyatanya malah membuat segalanya menjadi semakin parah. Santai saja, karena hanya Allah yang tahu perihal sampai tidaknya doa kita, yang penting kita tidak sedang mengganggu hak orang lain, gitu aja kok repot!

Facebook Comments