Pertanyaan ini menarik diajukan. Sebab, dalam satu dekade terakhir perang global melawan terorisme berlangsung sangat massif di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Namun, selama rentang waktu itu pula kelompok-kelompok teroris justru tampak semakin massif pula akan aksi-aksinya.
ISIS “konon katanya” runtuh pada akhir tahun 2017 silam. Wilayah yang mereka kuasai di Suriah dan Irak juga hilang akibat kalah perang. Dunia lega mendengar kabar berakhirnya kelompok ISIS dan sejumlah organisasi pemberontak lainnya. Namun, respon publik dunia seperti ini tak jauh berbeda ketika mendengar kematian Osama Bin Laden, pemimpin besar Al-Qaeda pada tahun 2011 silam. Tepat pada tahun 2012, publik dunia sekonyong-konyong menyimpulkan bahwa kekuatan dan pengaruh Al-Qaeda sudah terkikis lantaran hilangnya pemimpin mereka yang kharismatik dan terampil, Osama bin Laden. Tapi, yang mesti dicatat bahwa meskipun kelompok teroris mungkin mengalami masa penurunan namun mereka ternyata sangat tangguh dan mudah beradaptasi. Sebenarnya sangat berbahaya bagi dunia karena telah meremehkan mereka karena faktanya kelompok teroris justru mengalami kebangkitan.
Hambatan utama memahami kekuatan kebangkitan Al-Qaeda adalah akibat kemunculan dan evolusi baru gerakan jihadis global, yakni ISIS. Terlepas dari keterlibatan al-Qaeda di Suriah dalam bentuk faksi Jabhat al-Nusra, ISIS berhasil merebut dan menguasai 34.000 mil persegi wilayah di Suriah dan Irak serta menerapkan struktur pemerintahan semu di kota-kota yang dikuasainya. Tidak ada kelompok teroris yang pernah mencapai ini, meskipun pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri memiliki tujuan untuk menciptakan kekhalifahan dengan membebaskan semua wilayah dari pendudukan on-Muslim dan penguasa yang mereka sebut murtad.
Analis pertahanan dan keamanan dari Rand Europe, Antonia Ward mengatakan ISIS mampu menarik dan merekrut konglomerat besar pejuang asing dari seluruh dunia dengan perkiraan 40.000 orang bergabung dengan kelompok teroris dari 110 negara.
Saat perhatian dialihkan ke ISIS, al-Qaeda secara diam-diam namun efektif bangkit kembali. Menurut akademisi dan pakar terorisme, Bruce Hoffman, Al-Qaeda memiliki faksi-faksi di seluruh dunia. Organisasi ini memiliki afiliasi formal yang dijalankan oleh komandan al-Qaeda di Suriah, Rusia, Libya, Mesir, Maghreb, Sahel, Yaman, Somalia, Afghanistan, Pakistan, India, Bangladesh, Myanmar dan Indonesia. Sambil menyembunyikan tujuan global dan ambisius untuk mengusir AS dan pasukannya dari negara-negara Muslim, tekanan langkah-langkah kontra-terorisme AS memaksa al-Qaeda untuk fokus pada inspirasi daripada secara aktif mengkordinasikan serangan di luar negeri. Sejak 2011, runtuhnya rezim otoriter di Timur Tengah telah menciptakan kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan oleh banyak kelompok teroris, termasuk al-Qaeda dan ISIS. Al-Qaeda mengeksploitasi konflik sipil dan ketidakpuasan dalam beberapa bulan dan tahun setelah Musim Semi Arab (Arab Spring) untuk membentuk faksi di seluruh wilayah, termasuk Jabhat al-Nusra di Suriah.
Namun, kasus Al-Qaeda menunjukkan bahwa kita mungkin terlalu terlena dalam menganggap berakhirnya kelompok teroris, terutama ketika para pemimpin atau aset kunci dihancurkan. Kehadiran komandan kunci yang tersebar di sejumlah wilayah menunjukkan bahwa bahkan di bawah tekanan yang sangat besar, al-Qaeda dapat berhasil menyesuaikan ideologinya untuk menarik keluhan lokal dan menyerap kelompok jihadis tidak resmi lainnya. Pergeseran ke model desentralisasi ini membantu melindungi organisasi dari kehilangan anggota inti al-Qaeda. Strategi ini memungkinkan al-Qaeda untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuatan meskipun Osama bin Laden telah meninggal dunia.
Karena itu, meskipun ISIS kehilangan wilayah, penting bagi kita untuk tidak berasumsi bahwa kelompok teroris tersebut akan runtuh begitu saja. Dalam periode kelemahannya saat ini, ISIS kemungkinan akan mengadopsi strategi serupa. Faktanya, bukti menunjukkan ISIS mengakui pentingnya menyebarkan operasinya di berbagai negara dan menciptakan aliansi dengan kelompok jihadis lokal. ISIS menginvestasikan energi untuk melakukan ekspansi di seluruh Afrika, mendirikan Negara Islam di Sahara Raya dan melakukan serangan di Niger dan Burkina Faso. Selain itu, salah satu kekuatan terbesar ISIS adalah strategi propagandanya yang memungkinkan penyebaran pengaruhnya kepada individu dan sel mereka di seluruh dunia. Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa kelompok tersebut tidak boleh diremehkan.
Mengingat jumlah simpatisan independen dan sel-sel kecil yang setia kepada ISIS dan kemampuan organisasi yang telah terbukti untuk melakukan serangan yang sangat efektif dan menghancurkan dengan sumber daya yang tidak canggih dan pelatihan yang terbatas, pemerintah seharusnya tidak menganggap penghancuran kepemimpinan pusat dan sumber daya sama dengan akhir dari teroris. Kelompok Al-Qaeda, seperti ISIS, terus melakukan serangan teroris di seluruh dunia, meskipun diperkirakan terjadi penurunan setelah 2011.
Prioritas dan alokasi sumber daya dan waktu adalah kunci dalam kontra-terorisme, kasusAl-Qaeda membuktikan bahwa kita tidak boleh berpuas diri dan menganggap bahwa periode penurunan menandai kehancuran total kelompok teroris. Baik Al-Qaeda dan ISIS menggarisbawahi kemampuan adaptasi kelompok teroris di abad ke-21, karena kedua organisasi tersebut mempertahankan pengaruh global, regional, dan lokal dalam menghadapi tekanan kontra-terorisme yang sangat besar, beragam dan berkelanjutan. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memantau organisasi teroris sedekat mungkin saat mereka jatuh untuk mencegah kondisi yang memungkinkan kebangkitan kembali.