Jihad Literasi Digital sebagai Basis Membentengi Diri dan Keluarga dari Kepungan Hoaks

Jihad Literasi Digital sebagai Basis Membentengi Diri dan Keluarga dari Kepungan Hoaks

- in Narasi
1704
0
Jihad Literasi Digital sebagai Basis Membentengi Diri dan Keluarga dari Kepungan Hoaks

Sungguh, di era senjakala media sosial ini, kita dikepung berita palsu (hoaks). Tak hanya orang yang tak melek literasi, bahkan para ilmuan, tokoh agama, politik, dan para jurnalis juga terkena berita hoaks. Orang-orang rawan terprovokasi berita-berita hoaks dari akun-akun di media sosial. Akibat kesengajaan dan penyeberan konten tidak dalam.

Kecendrungan orang membuat atau menyebarkan berita hoaks akibat fanatik pada kelompok sendiri dan amat benci kepada kelompok-kelompok atau tokoh-tokoh yang lain. Misalnya, mereka menggunakan isu-isu provokatif yang bermuatan suku, ras, agama di antara berbeda golongan di media sosial. Atau, seperti anggota The Family Muslim Cyber Army (TFMCA), yang sudah ditanggap Februari 2018 lalu, oleh Derektorat Tindak Pidana Siber Bareskrim, karena menyebarkan isu kebangkitan PKI, penculikan ulama, dan melecehkan nama baik presiden.

Kini, memasuki situasi kegayutan politik nasional-internasional dan kotestasi keagamaan transnasional, berita palsu atau hoaks semakin merajalela. Dari hasil penelitian Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), ditemukan terdapat 52 dari 86 berita hoaks dengan konten politik.

Sarana yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi antara narasi dan foto 50,43 persen, narasi saja 29, 96 persen, narasi dan video 14,78 persen dan gambar atau foto saja 4,35 persen. Saluran penyebaran hoaks paling banyak menurut data dari Mafindo, yakni menggunakan Facebook 47, 83 persen, WhatsaApp 11,74 persen, dan Youtube 7,38 persen.

Jadi, hoaks dirayakan dalam kampanye politik. Hoaks tercipta demi raihan prestasi politik, yang umurnya hanya lima tahun. Kebiadaban pencipta hoaks bersumber dari kerapuhan hati sebagai jalan pintas bagi yang jahat. Dan itu, sangat berbahaya dan meresahkan kehidupan masyarakat bila secara masif disebarluaskan dan dibiarkan berlarut-larut. Bagaimanapun hoaks takkan perna sirna, ia tetap ada di gelimang kehidupan kita.

Jalan keluar

Jalan kaluar supaya tak mudah termakan hoaks adalah semua pihak mulai dari negara hingga keluarga harus terlibat dari ikhtiar membantenge diri dari kepungan hoaks dengan cara-cara penguatan literasi digital. Sebab, secara sosiologis, keluarga merupakan kunci penting dalam melakukan edukasi bagi anak-anak agar mereka memiliki kepakaan dalam menyikapi kesimpangsiuran berita. Betatapun, keluarga merupakan garda terdepan dalam proses penanaman wawasan literasi kritis digital.

Keluarga berperan strategis dalam memberikan peringatan atau penyadaran dari bahaya hoaks yang timbul dari penyalahgunaan informasi di gawai. Hoaks berisiko tinggi—bisa memecah belah bangsa yang harmonis-pluralis menjadi bangsa pembenci dan intoleran. Bangsa yang dinamis menjadi bangsa yang brutalis. Dari agamaisasi kedamaian menjadi agamaisasi kekerasan.

Dalam konteks ini, kesalehan pikiran dan tangan-tangan individu keluarga sangat dibutuhkan. Karena, ketika praktik keluarga saleh, maka akan berdampak pada kesalehan sosial. Kita tak boleh permisif dalam fenomena demikian. Tatapi kita semakin dituntut memiliki sikap saleh dalam penguasaan dunia digital untuk diberikan pada kerabat dekat dengan tanggungjawab kemanusiaan—melalui pendekatan mengikat, kritis, dan mendalam.

Ikhtiar membantengi dari pusaran hoaks dengan menata etika komunikasi digital dikeluarga penting dilakukan, mengingat banyak orang-orang kecanduan gawai yang berdampak negatif pula pada informasi-informasi yang bertebaran atau yang ingin dibagikan. Nalar kritis dan kehati-hatian menerima informasi diperlukan. Pudarnya kejernihan informasi, akibat kita tak mengenali, mengontrol diri sendiri, tak memberikan jeda waktu berfikir kritis untuk merenungi informasi-informasi yang belum tentu betul akurasinya dan kelayakannya.

Oleh sebab itu, untuk membantenge diri agar tidak terprovokasi atau terjerumus keranah kejahatan yang ditimbulkan akibat berita palsu atau hoaks, kita harus bisa membatasi dan merelaksasi diri dari gawai, serta lebih mengutamakan etika, respek kepada person dalam pemberlakuan sebagai penerima pesan.

Atas semua itu, kita, bisa meninggikan bela rasa dan kejujuran atas kebenaran, ketimbang pongah dengan pemalsuan yang lama-lama disenangkan dengan kebohongan dan menimbulkan fitnah besar-besaran bagi umat manusia. Media massa harus difungsikan sebagai sarana penjaga moral dalam konsensus keadaban-kebangsaan.

Kita perlu bekerja keras mengolah informasi dan perlu ketulusan bertukar pikiran supaya bisa membedakan mana berita yang benar, dan mana berita nirkebanaran. Dengan begitu, akhirnya, kita, bisa menjaga martabat keluarga, bangsa, agar tetap sehat jiwanya, terbebas dari polusi hoaks dipikirannya. Sesungguhnya, hoaks tidak bisa dihindarkan atau dihilangkan. Tetapi kita wajib melawan lewat literasi digital dan peneguhan akal sehat yang ditingkatkan.

Facebook Comments