Berpolitik dalam Islam idealnya meninggalkan kampanye hitam (fitnah) dan menghindari menggunakan politik identitas, utamanya “meminjam” agama untuk melegitimasi kepentingan politik. Selain dilarang dalam agama juga dapat menimbulkan hal-hal buruk yang kontraproduktif dan merusak masa depan demokrasi di Indonesia.
Namun di tahun politik seperti saat ini semua aturan-aturan dan norma-norma kerap terabaikan. Etika luhur dalam berpolitik tergerus oleh syahwat kepentingan politik. Kontestasi politik dipenuhi adegan-adegan kotor yang jauh dari ajaran agama maupun nilai normatif yang berkeadaban. Panggung politik dipenuhi tontonan ujaran kebencian, provokasi, fitnah, celaan, cercaan dan hinaan.
Tahun politik selalu menjadi gelaran disfungsi etika politik. Tidak hanya politisi sebagai kontestan, kelompok pendukung dan timses bertindak tidak terhormat mencampakkan moralitas agama dan etika kesantunan dan keadaban.
Antar pendukung saling melemparkan komentar-komentar tajam dan pedas, saling ejek saling caci serta saling fitnah demi membela calon pujaan. Kontestasi yang sejatinya berfungsi sebagai media “fastabiqul khoirot”, berlomba untuk menampilkan kebaikan dan persaingan sehat berubah menjadi palagan mencekam. Hal ini akan berdampak pada terjadinya perpecahan dan disintegrasi bangsa.
Begitulah, di tahun politik suhu politik memanas. Ashabul fitnah alias tukang fitnah bermunculan bak suburnya jamur di musim hujan. Peringatan agama “fitnah lebih besar (dosanya) dari membunuh” tidak menjadi ganjalan sedikitpun. Ashabul fitnah yang memproduksi berita bohong atau hoaks menebarkan propaganda yang memprovokasi dan menggiring masyarakat pada sudut fanatisme politik aliran.
Berdampak pada kuatnya politik identitas, ujaran kebencian semakin mencekam dan antar kelompok pendukung saling berhadapan seperti berada dalam arena palagan yang sebentar lagi berubah menjadi arena penuh korban jiwa. Diperparah lagi oleh kondisi masyarakat yang mudah terprovokasi oleh opini propaganda tak bermoral tersebut.
Mendewasakan Masyarakat Bebas dari Pengaruh Ashabul Fitnah
Jika keriuhan politik akibat berita bohong atau hoaks alias fitnah termakan oleh masyarakat, benturan dan konflik kepentingan akan semakin kuat, maka potensi disintegrasi bangsa akan sangat terbuka.
Diperlukan kedewasaan masyarakat untuk mengkaji secara matang setiap informasi yang diperoleh baik dari lisan dan yang diterbitkan media massa. Supaya tumbuh kesadaran, Pemilu diadakan tujuannya bukan untuk menciptakan konflik dan perpecahan.
Kita harus belajar banyak dari para pendiri bangsa, mereka mampu menafikan berbagai perbedaan dan memegang kuat komitmen persatuan dan kesatuan. Hal itu yang mengantarkan Indonesia terlepas dari belenggu kolonialisme.
Seharusnya kita malu gegara politik dan dukungan berani berbuat amoral; memfitnah, menebar hoaks, memproduksi kerunyaman serta sengketa dan permusuhan. Sebagai warga yang bermartabat mestinya mampu menjaga muruah diri. Tidak mudah termakan isu-isu sensitif yang disebarkan oleh ashabul fitnah.
Masyarakat setidaknya tidak mudah mudah terpengaruh, berpikir dan bertindak dengan mengedepankan akal sehat. Bahkan, yang harus dilakukan adalah melawan ashabul fitnah dengan menyebarkan isu-isu positif. Kita semua harus menjaga muruah diri, menghayati ajaran agama, dan mengedepankan akhlak terpuji dalam politik.
Hoaks atau fitnah menjadi sangat laku penyebabnya tidak lain karena rendahnya literasi. Oleh karena itu, sebaiknya adalah meningkatkan kewaspadaan, teliti serta kritis dalam membaca suasana, terutama di tahun politik seperti saat ini.
Peningkatan literasi, diantaranya bisa dilakukan dengan kesadaran pentingnya membaca. Karena rendahnya literasi akan mudah membawa seseorang terpengaruh serta mudah membagikan berita hoaks yang dikelola oleh ashabul fitnah.
Ketahuilah, fitnah dan hoaks bukan hanya sebagai virus yang meracuni kontestasi politik. Lebih jauh, fitnah dan hoaks lebih sadis dan mengerikan karena bisa menghancurkan negara dalam hitungan detik secara massif.
Hoaks merupakan konspirasi antara segerombolan oknum politisi yang menyebarkan propaganda adu domba terhadap masyarakat. Ini harus disadari supaya tidak mudah terpengaruh. Sehingga warga Indonesia tidak berbondong-bondong melakukan kejahatan kemanusiaan karena termakan berita bohong dan ikut menyebarkan.
Fitnah atau berita bohong yang dilarang oleh agama dan menyebabkan disfungsi etika politik merupakan biang kerok seringnya terjadi kekisruhan dan memanasnya atmosfer politik. Maka, kita harus segera hijrah dari politik hoaks menuju politik kebangsaan yang mengedepankan keadaban, toleransi, persatuan dan kesatuan.