Belakangan ini nama Ayesha Farooq, pilot jet tempur perempuan pertama Pakistan menghiasi jagat media sosial kita. Dalam beberapa unggahan dan forum tertentu, Ayesha disebut-sebut sebagai pahlawan syahidah yang gugur dalam pertempuran udara melawan India. Tanpa konfirmasi resmi dari otoritas militer dan di tengah kerahasiaan identitas personel tempur aktif, narasi ini terus diulang sebagai simbol keberanian perempuan dalam jihad bersenjata.
Sosok Ayesha digunakan bukan semata-mata untuk menginspirasi, tetapi untuk menggerakkan perempuan agar terlibat dalam jaringan kekerasan ideologis yang mengatasnamakan agama dan perjuangan. Ini adalah bentuk manipulasi identitas dan romantisasi militerisme yang mengaburkan fakta dan memanfaatkan semangat keberdayaan perempuan untuk tujuan destruktif. Yakni, melibatkan perempuan dalam gerakan radikalisme-terorisme.
Beberapa pemberitaan dan narasi alternatif menyebut bahwa Ayesha Farooq tewas sebagai syahidah dalam pertempuran udara melawan India. Narasi ini cepat menyebar di berbagai forum dan platform, terutama yang berkaitan dengan kelompok atau simpatisan ideologi keras.
Padahal, tidak ada konfirmasi resmi dari pihak militer Pakistan terkait informasi tersebut, dan data mengenai personel militer aktif biasanya dirahasiakan demi keamanan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk membentuk konstruksi cerita yang menggugah emosi dan menginspirasi rekrutmen baru, khususnya dari kalangan perempuan muda.
Narasi semacam ini memanfaatkan semangat feminisme dalam bentuk yang terdistorsi. Alih-alih mendorong perempuan untuk berdaya dalam makna yang membebaskan dan produktif, radikalisasi feminin justru memanfaatkan identitas gender untuk tujuan kekerasan. Ayesha Farooq, yang seharusnya menjadi simbol kemajuan dan profesionalisme militer, diseret ke dalam lingkaran propaganda yang menjebak perempuan lain dalam ilusi pengorbanan dan kemuliaan yang keliru.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan tidak lagi hanya menjadi korban dari ekstremisme, melainkan juga sasaran utama dalam strategi perluasan jaringan radikal.
Dengan membungkus ideologi kekerasan dalam narasi perjuangan, kelompok-kelompok tersebut menjadikan cerita-cerita seperti “syahidah Ayesha Farooq” sebagai alat propaganda yang sangat efektif. Hal ini sangat berbahaya, terutama ketika narasi tersebut menyasar perempuan muda yang tengah mencari jati diri dan merasa terpanggil oleh kisah-kisah kepahlawanan.
Penting bagi seluruh pihak, termasuk media, pendidik, dan pemerintah, untuk mengedukasi masyarakat—khususnya perempuan—agar lebih kritis terhadap narasi perjuangan yang dikemas secara emosional dan heroik, tetapi tidak memiliki dasar yang kuat. Literasi digital dan pemahaman ideologis yang sehat merupakan kunci untuk menangkal propaganda jenis baru ini.
Ayesha Farooq adalah simbol inspiratif yang layak dihormati karena pencapaiannya, bukan karena mitos kematian syahidah yang belum terbukti. Memanfaatkan namanya untuk membakar semangat radikal adalah bentuk pelecehan terhadap perjuangan perempuan itu sendiri.
Oleh karena itu, perempuan di mana pun berada perlu terus waspada dan cermat dalam membaca dan menyikapi informasi. Tidak semua kisah heroik adalah panggilan mulia. Sebagian di antaranya mungkin hanyalah jerat senyap yang disamarkan dengan pujian dan pengorbanan.