Bahaya Pemahaman Tekstual Al Wala’ wal Bara’ Untuk Perdamaian Antar Agama

Bahaya Pemahaman Tekstual Al Wala’ wal Bara’ Untuk Perdamaian Antar Agama

- in Keagamaan
41
0
Bahaya Pemahaman Tekstual Al Wala' wal Bara' Untuk Perdamaian Antar Agama

Secara etimologi, al Wala’ berarti kesetiaan. Sedangkan al Bara’ artinya terlepas atau bebas. Istilah ini secara massif disuarakan Kelompok jihadis sebagai argumen melegalkan cara pandang agama mereka. Bahkan, mereka menjadikan al Wala’ wal Bara’ sebagai syarat keimanan. Hal ini kemudian diikuti oleh kelompok radikal dan orang-orang yang terpengaruh doktrin radikalisme.

Kesetiaan terhadap agama yang dipeluk dan diyakini kebenarannya adalah mutlak dan sah, namun mengenyampingkan adanya agama dan keyakinan lain itu tidak benar. Dalam kitab suci al Qur’an ditemukan pernyataan pengakuan terhadap keyakinan lain sebagai sunnatullah. Artinya, perbedaan agama adalah sesuatu yang dikehendaki.

Sehingga pemahaman terhadap konsep al wala’ wal bara’ tidak boleh literal, apa adanya dan dangkal. Sebab pemahaman al wala’ wal bara’ secara sederhana akan bertentangan dengan konsep yang diajarkan oleh al Qur’an sebagai sumber primer dalam agama Islam. Pemahaman terhadapnya harus komprehensif dan kontekstual.

Pemahaman terhadap al wala’ wal bara’ secara tekstual akan membatasi pemaknaan atau tafsir agama yang mulanya luas menjadi sempit. Dalam kondisi yang demikian seseorang akan beragama secara ekstrem (ghuluw).

Memahami jihad hanya bermakna “perang”, menganggap non muslim sebagai musuh yang harus diperangi baik dalam kondisi peperangan maupun dalam kondisi damai adalah diantara konsekuensi pemahaman literal terhadap al wala’ wal bara’.

Lebih jauh, muslim sekalipun kalau tidak sama dengan madhab tafsir keagamaan mereka juga harus dilenyapkan karena dianggap musyrik dan kafir. Suatu kesalahan yang harus dihindari, apalagi dalam konteks negara bangsa seperti sekarang. Dimana, setiap agama bebas dipilih oleh seseorang.

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia dalam Pemahaman al Wala’ wal Bara’

Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia beberapa waktu lalu menuai respon positif maupun negatif. Respon positif menilai kunjungan tersebut sebagai bentuk upaya mempertemukan pemeluk agama yang berbeda dalam satu bingkai kehidupan yang damai. Dengan kata lain, perbedaan agama bukan alasan untuk tidak saling menghargai, dan bahwa perdamaian tidak boleh dirusak atas nama perbedaan agama dan keyakinan.

Sementara respon negatif datang dari mereka yang memiliki cara pandang keagamaan yang eksklusif. Dalam pandang kelompok ini mukmin tidak boleh Wala’ (loyal) terhadap orang kafir, mukmin wajib Bara’ (lepas, bebas) dari kekafiran mereka. Sehingga pertemuan Paus Fransiskus dan KH. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal dinilai sebagai tontonan yang menjijikan. Kemesraan antar keduanya dianggap melampaui batas dan sebagai sesuatu yang dilarang dalam agama. Utamanya dalam pandangan konsep al wala’ wal bara’, pertemuan itu adalah tindakan menggadaikan agama.

Tentang al wala’ wal bara’, konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Ibnu Taimiyah dan kemudian diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Menurut Ibnu Taimiyah al Wala’ wal Bara’ adalah syarat sah keimanan. Konsekuensinya, mukmin yang memiliki sikap al Wala’ terhadap non muslim otomatis keimanannya tidak sah.

Dengan alasan ini, maka pertemuan dan pertemanan Paus Fransiskus dan KH. Nasaruddin Umar serta umat Islam yang setuju dianggap pengingkaran terhadap agama Islam. Apalagi bagi mereka yang melakukan pemaknaan lebih ekstrem terhadap al wala’ wal bara’, seperti dilakukan oleh pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yaitu kelompok Wahabi atau Salafi Wahabi. Mereka mendoktrin jamaahnya untuk al Bara’ kepada orang yang berbeda pendapat meski dalam persoalan khilafiyah. Tentu, kehadiran Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal adalah praktek kekafiran.

Argumen yang diketengahkan, diantaranya adalah surat al Muntahanah ayat 4. Namun bisa dilihat, cara pembacaan mereka sangat tekstual. Struktur pemahaman yang hurufiah itu berakibat pada pemahaman al Wala’ wal Bara’ sampai pada batas ekstrem (ghuluw). Alih-alih memperkuat tauhid, justru terjebak pada larangan agama.

Disamping ayat al Qur’an, mereka mendalilkan juga kepada hadits, “Ikatan iman paling kokoh adalah setia karena Allah, memusuhi karena Allah, demikian pula mencintai dan membenci karena Allah”.

Padahal, hadits riwayat al Baghawi di atas tidak spesifik berbicara dan memiliki keterkaitan khusus dengan konsep al Wala’ wal Bara’. Terbukti dalam literatur-literatur ulama salaf tidak ada yang membicarakannya.

Karenanya, kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia yang disambut gempita oleh umat Islam bukan suatu kesalahan, melainkan keharusan. Keharusan untuk menghormati pemimpin agama lain. Lebih dari itu, untuk menunjukkan bahwa perdamaian sejatinya tidak bisa dibatasi oleh perbedaan agama dan keyakinan.

Jalinan persaudaraan, persahabatan dan perdamaian dengan pemeluk agama lain bukan pengikisan keimanan, melainkan bentuk ajaran rahmatan lil alamin yang diajarkan dalam Islam. Begitulah, sejatinya al wala’ wal bara’ tidak menghambat perdamaian antar agama. Konsep ini bukan untuk menciptakan permusuhan, melainkan membina perdamaian antar pemeluk agama tanpa mengurangi nilai dan kadar keimanan masing-masing.

Facebook Comments