Indoktrinasi radikalisme kian hari kain mengkhawatirkan. Pasalnya, tidak hanya menyasar orang-orang dewasa, melainkan juga anak kecil yang nota bene masih berada pada masa golden age (usia emas). Ajaran atau nilai yang diberikan seseorang maupun lingkungan kepada anak di masa ini, memiliki pengaruh besar dalam pembentukan pola pikir di masa mendatang. Karenanya, jika anak semenjak dini telah terkena doktrin radikalisme, untuk meluruskannya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Adapun media yang biasa digunakan oknum tertentu untuk menyemai benih radikalisme adalah media sosial. Dalam genggaman mereka, media sosial yang sebenarnya bisa dijadikan ajang untuk bersilaturahmi, justru digunakan untuk indoktrinasi paham mereka, dengan dalih agama. Bagi anak yang terbiasa mengonsumsi konten kekerasan, radikalisme, maupun konten lain yang mengarah kepada keburukan, tentu akan tumbuh menjadi pribadi yang eksklusif dan keras. Pada akhirnya, ketika generasi mereka menerima estafet kepemimpinan –di masa yang akan datang-, tidak bisa mengelola negara dan bangsa dengan baik, sesuai dengan amanah para Bapak Bangsa. Persatuan dan perdamaian yang diupayakan para pendahulu kita pun akan menjadi sia-sia.
Apalagi jika kita melihat kenyataan bahwa anak usia dini zaman sekarang tak bisa lepas dari gawai. Bagaimana bisa lepas, wong mereka lahir dalam ‘jagat digital’, di mana gawai telah menjadi barang yang sudah tidak asing lagi –amat berbeda dengan generasi sebelumnya dan sebelumnya. Sehingga, banyak kita dapati anak-anak usia dini telah mahir menggunakan gawai, tanpa pengawasan orang tua.
Hal inilah yang sebenarnya membahayakan generasi muda kita. Bahwa anak sebagai ‘manusia kecil’ yang belum memiliki cukup atribut untuk menyaring informasi, dibrondong informasi yang beragam melalui gawainya. Belum lagi, jika konten-konten dalam informasi tersebut mengarah pada hal-hal yang merugikan, seperti pornografi, kekerasan, dan radikalisme.
Maka dari itu, kita perlu memberikan apresiasi kepada Pemerintah Republik Indonesia yang baru-baru ini, melalui empat kementriannya, mengeluarkan pernyataan bersama tentang pembatasan penggunaan gawai di satuan pendidikan. Keempat kemetrian tersebut adalah Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), dan Kementrian Agama. (Kompas, 1/09)
Pernyataan bersama empat kementrian tersebut dapat kita maknai sebagai ajakan pemerintah untuk bersama-sama menyelamatkan generasi muda dari konten negatif yang terserak di dunia maya. Pembatasan penggunaan gawai dalam satuan pendidikan dimaksudkan untuk mencegah anak-anak mendapatkan informasi yang tidak layak, seperti pornografi, radikalisme, kekerasan, dan konten negatif lainnya. Di samping itu, agar anak-anak usia dini tidak kecanduan gawai, karena dapat mempengaruhi konsentrasi dalam belajar.
Selain membatasi penggunaan gawai, baik pendidik maupun orang tua siswa juga diminta untuk ikut andil dalam membimbing anaknya. Bahwa tidak bisa hanya dengan membatasi penggunaan gawai, tapi tidak ada solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan informasi anak.
Sebagaimana yang dijelaskan Rudiantara dari Kemkominfo, bahwa kini telah ada 289.000 situs positif yang masuk dalam white list kominfo. (Kompas, 1/09) Artinya, pendidik dan orang tua mesti bisa mengarahkan anak untuk mengonsumsi konten-konten positif saat mereka tengah memegang gawai. Bahwa penggunaan gawai yang terbatas, mesti bisa digunakan sang anak untuk mengonsumsi konten positif yang mengajak pada perdamaian, persatuan, dan kerukunan.
Adapun dalam praktiknya, pembatasan penggunaan gawai juga mesti dirumuskan se-teknis mungkin. Misalnya, bagaimana pengaturannya, siapa saja yang diatur, alokasi penggunaan atau berapa lama waktu penggunaan gawai dan usia anak. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh satuan pendidikan saja (sekolah), melainkan juga membutuhkan kerja sama antara orang tua dan masyarakat.
Sebagai Benteng Radikalisme
Telah banyak kita saksikan tragedi di Nusantara yang mengundang pilu dan kerugian yang tak ternilai harganya. Di antara tragedi yang terjadi adalah pengrusakan rumah ibadah umat beragama lain, yang ironisnya berawal dari pemahaman seseorang atas pesan kitab suci yang keliru. Hal ini terjadi karena pribadi atau kelompok tersebut merasa paling benar dan menganggap yang lainnya salah. Sehingga, dalam keyakinan mereka, membinasakan orang di luar mereka, terutama yang berbeda agama, merupakan perintah agama dan diganjar pahala yang melimpah.
Tentu saja, hal ini menjadi noktah hitam kedamaian dan kerukunan kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagai negara-bangsa yang berdiri di atas perbedaan, dan bernaung di bawah satu bendera –merah putih-, membiarkan konflik yang menyeret isu SARA terus bergulir merupakan tindakan yang bodoh dan sangat merugikan. Oleh karena itu, di samping kita terus berupaya mengampanyekan nilai nasionalisme dan kerukunan kepada orang dewasa, juga jangan melupakan untuk kaderisasi generasi muda. Kita yang sadar betapa berharganya perdamaian Indonesia, mesti mampu mewarisi nilai tersebut kepada generasi selanjutnya. Sehingga, Indonesia bisa tumbuh dan berkembang menjadi bangsa besar. Bukan hanya besar karena wilayahnya terdiri dari berbagai kepulauan, melainkan juga karena warganya yang memiliki kedewasaan dalam menerima perbedaan dan menyelesaikan konflik.
Dengan begitu, membatasi anak usia dini dalam menggunakan gawai adalah langkah awal untuk membentengi mereka dari doktrin radikalisme –sebuah doktrin yang mampu mencerai beraikan kedamaian. Setelah itu, anak-anak usia dini juga perlu diberikan pemahaman dan pengalaman yang berkaitan dengan toleransi dan hidup bersama, sehingga mereka bisa tumbuh menjadi pribadi cinta damai.