Beda Pilihan, Tetap Toleran : Waspada Segregasi dan Sentimen Keagamaan dalam Kontestasi Politik

Beda Pilihan, Tetap Toleran : Waspada Segregasi dan Sentimen Keagamaan dalam Kontestasi Politik

- in Narasi
34
0
Beda Pilihan, Tetap Toleran : Waspada Segregasi dan Sentimen Keagamaan dalam Kontestasi Politik

Dalam sejarah peradaban Islam, terutama apabila merujuk pada masa Rasulullah, agama dan politik menyatu, tak terpisahkan. Sebagai tanda, ajaran Islam merestui menyatunya Islam dan politik. Politik, sekalipun terkadang menjelma menjadi siasat untuk menang dengan segala cara yang kotor sekalipun, tidak bisa dijadikan dalil untuk memisah agama dan politik.

Rasulullah mewariskan komunitas politik di Madinah. Beliau meletakkan pondasi politik sebagai uswah bagi umatnya. Teladan politik tersebut seharusnya menjadi pijakan berpolitik bagi umat Islam.

Diantara teladan politik itu adalah, tidak menjadikan agama sebagai komoditas politik, agama bukan alat politik untuk menguatkan kekuasaan, bukan pula legitimasi untuk menentukan dukungan. Agama dan konteks politik adalah pemersatu diantara pelbagai kepentingan.

Hal lain yang tak patut untuk dilupakan, pondasi politik Rasulullah tidak menetapkan satu sistem yang harus dipilih, melainkan hanya berupa dasar-dasar sehingga apapun yang sesuai dengan zaman tertentu bisa dan absah untuk dijadikan dasar politik suatu negara.

Sistem demokrasi yang saat ini menjadi pilihan banyak negara di dunia secara esensi tidak bertentangan dengan ajaran politik Nabi Muhammad. Demokrasi menjadi pilihan paling tepat untuk saat dalam merealisasikan dua tujuan bernegara dalam Islam, yakni menjaga agama (hirasah al Din) dan untuk mengatur tatanan masyarakat yang lebih baik (siasah al Dunya).

Dua tujuan bernegara di atas akan terwujud dengan baik manakala identitas keagamaan tidak dijadikan tameng untuk kepentingan politik. Kemaslahatan manusia secara keseluruhan menjadi tujuan utama politik dalam Islam.

Dalam konteks politik di Indonesia sebagai negara multi kultur, merajut kebhinekaan kita sebagai negara bangsa merupakan wujud pengakuan dan peneguhan akan keberagaman sebagai tolak ukur politik yang beradab.

Sementara, pemanfaatan agama sebagai komoditas politik sangat jauh dari semangat politik yang diajarkan oleh Rasulullah di negara Madinah. Dalam konteks negara Madinah, agama bukan alat memusuhi penganut agama lain, namun merekatkan dan merangkul semuanya sebagai satu komunitas dengan hal dan kewajiban yang sama sebagai warga negara.

Harmoni umat beragama menjadi tujuan utama politik dalam Islam. Madinah yang plural, serta undang-undang negara yang dirumuskan bersama merupakan bukti pentingnya menjaga keharmonisan warga negara, tanpa memaksakan ajaran agama tertentu sebagai dasar sebuah negara yang penduduknya multikultural.

Segregasi Agama dan Krisis Politik Beretika

Terbiasa di negara ini menjelang pemilu isu-isu agama menjadi trend nomor satu. Agama menjadi lahan garapan paling empuk sekaligus paling efektif bagi politisi dalam meraih dukungan. Kemirisan yang menyayat hati, melihat bagaimana agama terlempar dihembuskan dari pidato kampanye dan alat untuk memperoleh dukungan.

Segregasi dan sentimen keagamaan begitu mudah terjadi menjelang pemilu. Agama sebagai sesuatu yang sakral dihambur-hamburkan sesuka hati. Terlalu sering politik kita diwarnai tindakan yang seharusnya tidak dilakukan atas nama agama.

Pemilih seharusnya memilih seorang pemimpin berdasarkan visi dan misinya, bukan karena satu aliran. Untuk pemilu yang sehat kita harus stop politisasi agama. Segregasi dan sentimen keagamaan harus dibuang jauh.

Masyarakat Indonesia juga seharusnya menyadari adanya gerakan orang atau kelompok yang merebus agama habis-habisan untuk kepentingan politik. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan terjadinya konflik serta merebaknya kebencian dan intoleransi. Ujungnya, perpecahan di antara warga masyarakat dan kerentanan sosial dengan ragam bentuknya akan terjadi.

Kebencian akan menyebar kemana-mana menyulut permusuhan. Sentimen keagamaan tidak lagi dalam kerangka persaingan merebut pengaruh secara dewasa, namun penggiringan terhadap suksesi suatu kepentingan.

Segregasi dan sentimen keagamaan menggiring seseorang kepada perasaan tidak suka terhadap kelompok penganut agama yang berbeda, melahirkan kebencian, bahkan bisa tak berujung sebagai spiral kebencian terhadap penganut agama lain dan kelompok berbeda aliran sekalipun seagama.

Hal ini sangat mengkhawatirkan. Demokrasi tidak lagi sebagai sarana memilih pemimpin terbaik berdasarkan pilihan hati nurani. Sebaliknya, menjadi ajang menebar kebencian dan permusuhan. Agama yang hadir untuk membangun ketaatan umat dan kebaikan untuk publik, justru dihadirkan untuk menciptakan mafsadah bagi umat. Dapat memicu timbulnya konflik horizontal. Bahkan, bisa lebih dari itu, bisa menghancurkan bangsa Indonesia ke dalam kondisi yang paling memperihatinkan.

Karena itulah, beda pilihan, tetap toleran menjadi prinsip utama dalam mewujudkan Pemilu yang damai dan berkualitas. Perbedaan adalah keniscayaan dan toleransi adalah sikap yang diambil agar terhindar dari pola politisasi identitas dan sentiment kegamaan dalam kontestasi politik. Toleransi menjadi pegangan agar kita tidak mudah diadu domba dengan isu murahan yang mengatasnamakan agama dalam pilihan politik.

Facebook Comments