Begini Pandangan Imam Al-Ghazali Mengenai Integrasi Ulama-Umara

Begini Pandangan Imam Al-Ghazali Mengenai Integrasi Ulama-Umara

- in Narasi
971
0
Begini Pandangan Imam Al-Ghazali Mengenai Integrasi Ulama-Umara

Kalau kita kuliti sejarah Islam bahwa keadaan atau kondisi sosial-politik di masa Al-Ghazali bisa dibilang merosot dikarenakan krisis dari pada ulama pada saat itu. Karena pada saat itu ulama berlomba-lomba untuk mendalami ilmu pengetahuan, bukan untuk kedalaman ilmu pengetahuan tersebut. Namun, untuk mendapatkan simpatik dari para ahli dunia yaitu penguasa (umara) dan akan dapat imbalan lebih berupa kedudukan dan materi lainya yang sebelumnya sudah dijanjikan para penguasa pada saat itu.

Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabdah: “Barang siapa mencari ilmu yang seharusnya untuk mencari keridhaan Allah SWT digunakan untuk mencari harta kekayaan, maka tidak akan memperoleh semerbak bau syurga. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Berdasarkan hadist tersebut ulama seharusnya dalam menuntut atau mendalami ilmu pengetahuan tidak hanya untuk mendapatkan kenikmatan duniawi semata. Dari ilmu yang mereka miliki tugas ulama ialah menegakkan dan menyerukan amar maruf nahi munkar berdakwah mengajak seluruh umat khususnya muslim untuk menjalankan syariat Islam dengan baik dan benar.

Keadaan hubungan ulama dengan umara pada masa Al-Ghazali dalam kondisi kemerosotan. Dan itulah yang menyebabkan Al-Ghazali mengundurkan dirinya dari kursi jabatannya sebagai penasehat dan rektor di Universitas Nizham Mulk. Kemudian, menyendiri untuk fokus beribadah dan belajar tasawuf. Apabila, keadaan ulama dan penguasa telah terperosok ke dalam keadaan seperti itu. Maka, sudah saatnya bagi para ulama yang masih mementingkan kemaslahatan umat dan bertaqwa terhadap jalan kebenaran, untuk menegakkan kebenaran dan mengangkat suaranya walau sendirian (Al-Badri, 2003).

Al-Ghazali mengatakan bahwa ulama setidaknya terdiri dari tiga kelompok, yaitu pertama, ulama yang membinasakan dirinya dan orang lain. Mereka ialah ulama yang dengan terang-terangan mencari dunia dan tamak kepadanya. Kedua, ulama yang membahagiakan dirinya dan orang lain. Mereka ulama yang menyeru manusia kepada Allah secara lahir dan batin. Ketiga, ulama yang membinasakan dirinya sendiri dan membahagiakan orang lain. Mereka adalah ulama yang mengajak ke jalan akhirat dan menolak dunia secara lahir tetapi dalam batinnya ingin dihormati orang lain dan mendapatkan kedudukan yang mulia (Kurniawan, 2018).

Dalam ringkasan IhyaUlumuddin bahwasanya dijelaskan mengenai juru pengingat. Dalam hal ini juru pengingat ini adalah seorang ulama yang memiliki segudang ilmu dan memberi arahan kepada siapapun yang membutuhkan menuju jalan yang benar. Juru pengingat adalah pewaris Nabi Muhammad SAW ia pasti berdiri tegak atas dasar-dasar dan tujuan syariat yang murni serta hikmat yang tersirat di dalamnya.

Juru pengingat di sini pasti mengetahui letak yang menjadi perselisihan atau persesuaian antara seluruh alim ulama. Dan juga juru pengingat adalah manusia yang bertugas untuk menyiarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat antara seluruh umat; mengajak mereka mengamalkannya; berbicara dihadapan mereka itu dengan mengingat kadar kekuatan otak dan akal mereka; memberikan pimpinan dengan bahasa yang mereka gemari; dan mereka mengerti.

Selain itu, juru pengingat adalah merupakan pendorong utama dalam mengeluarkan seluruh umat manusia dari kegelapan kebodohan ke cahaya ilmu pengetahuan, membebasakan mereka dari perbudakan serta belenggu kekhurafatan dan kemewahan.

Pandangan Al-Ghazali mengenai relasi antara ulama dengan umara tersebut dirasa patut diaktualisasikan bangsa Indonesia, sehingga harapannya mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, termasuk berkaitan dengan urusan agama. Karena, walau bagaimanapun ulama, umara, dan umat adalah tiga pilar dalam pembangunan bangsa.

Facebook Comments