Belajar dari Asy-Syifa al-Adawiyah, Guru Perempuan Pertama di Masa Rasulullah

Belajar dari Asy-Syifa al-Adawiyah, Guru Perempuan Pertama di Masa Rasulullah

- in Narasi
3
0
Belajar dari Asy-Syifa al-Adawiyah, Guru Perempuan Pertama di Masa Rasulullah

Adalah Asy-Syifa binti Abdillah al-Adawiyah dari suku Quraisy, yang begitu terkenal dengan kepandaian literasinya, ketika pada zaman tersebut hanya segelintir perempuan saja yang bisa membaca dan menulis.

Kisah Asy-Syifa bisa kita gunakan untuk berkaca. Hari ini, kita hidup di zaman yang serba canggih, namun ironisnya, kita justru menghadapi bentuk “jahiliyah” baru; bullying, intoleransi, dan kekerasan yang merajalela di sekolah-sekolah kita.

Asy-Syifa, yang dikenal dengan julukan Ummu Sulaiman, adalah paket lengkap seorang intelektual. Ia cerdas, mahir dalam ilmu kedokteran, dan ahli kejiwaan. Di masa itu, ia sudah menguasai teknik pengobatan ruqyah untuk penyakit fisik seperti eksim, keracunan sengatan binatang, hingga sakit mata.

Ketika cahaya Islam datang, Asy-Syifa tidak membuang ilmunya. Ia justru meminta restu Rasulullah SAW untuk melanjutkan pengobatan ruqyah tersebut. Rasulullah SAW tidak hanya mengizinkan, tetapi memintanya mengajarkan ilmu itu kepada istrinya, Hafshah binti Umar bin Khattab.

Saat menjadi mualaf dan memeluk agama Islam, Asy-Syifa berkata kepada Rasulullah SAW,

“Wahai Rasulullah, aku biasa meruqyah sejak zaman Jahiliyah untuk mengobati penyakit eksim, dan kini aku hendak menunjukkannya kepada engkau.”

Kemudian Asy-Syifa menunjukkan kemampuannya kepada Rasulullah SAW dalam meruqyah. Saat meruqyah, Asy-Syifa berkata,

“Dengan nama Allah, sesat sehingga kembali dari mulutnya dan tidak mengganggu seseorang. Ya Allah, hilangkan kesulitan, wahai Rabb sekalian manusia.”

Sejak saat itu, Asy-Syifa memiliki kedudukan khusus dan kedekatan dengan Rasulullah SAW beserta para istri-istrinya. Pasalnya, Asy-Syifa memiliki keimanan yang kuat terhadap Allah dan Rasul-Nya. Asy-Syifa juga termasuk sebagai anggota rombongan yang pertama hijrah dari Mekah ke Madinah.

Dengan penuh kesabaran Asy-Syifa mengajari para muslimah untuk membaca dan menulis. Kemudian Asy-Syifa pun menjadi guru perempuan pertama pada zaman Rasulullah SAW.

Di sinilah letak pelajaran mahalnya. Asy-Syifa menggunakan kelebihan ilmunya untuk menyembuhkan, bukan untuk menindas.

Bandingkan dengan fenomena bullying di sekolah kita hari ini. Seringkali, anak-anak yang merasa lebih lebih kuat, lebih kaya, atau bahkan lebih pintar menggunakan kelebihannya itu untuk merundung mereka yang dianggap lemah.

Jika Asy-Syifa menggunakan tangannya untuk mengobati luka, mengapa pelajar kita hari ini menggunakan tangannya untuk menciptakan luka? Pendidikan kita perlu menanamkan kembali semangat Asy-Syifa: bahwa tingginya ilmu dan status sosial hanyalah alat untuk melayani sesama, bukan senjata untuk menyakiti.

Asy-Syifa tercatat sebagai guru perempuan pertama dalam sejarah Islam. Dengan penuh kesabaran, ia mengajarkan baca-tulis kepada para muslimah di lingkungannya. Ia adalah pelopor literasi yang sejati.

Rasulullah SAW bahkan bersabda kepada Asy-Syifa saat berada di rumah Hafshah, “Tidakkah engkau mengajari dia (Hafshah) cara meruqyah eksim sebagaimana engkau mengajarinya baca-tulis?” (HR. Abu Dawud).

Hari ini, angka buta huruf kita mungkin rendah, tapi angka buta hati kita mengkhawatirkan. Kemampuan baca-tulis siswa kita seringkali digunakan untuk menulis ujaran kebencian di media sosial, menyebarkan hoaks, atau memprovokasi kekerasan antarkelompok.

Asy-Syifa mengajarkan literasi untuk mengangkat derajat perempuan dan umat dari kebodohan. Ia mengajarkan ilmu agar muridnya (Hafshah) menjadi berdaya. Semangat pendidikan ini bertolak belakang dengan budaya intoleransi yang kerap muncul, di mana perbedaan dianggap ancaman.

Asy-Syifa mengajarkan kita bahwa ilmu pengetahuan adalah jembatan yang menghubungkan manusia, bukan tembok yang memisahkan mereka berdasarkan golongan.

Kecemerlangan otak Asy-Syifa membuatnya mendapatkan posisi terhormat, tidak hanya di mata Rasulullah, tetapi juga di mata Khalifah Umar bin Khattab. Umar, sosok pemimpin yang tegas itu, sering meminta pendapat Asy-Syifa dalam berbagai urusan, bahkan mempercayainya mengurusi urusan pasar (hisbah)—sebuah peran publik yang sangat strategis dan rawan konflik.

Ini adalah bukti bahwa dalam Islam, kompetensi dan integritas melampaui gender. Asy-Syifa dihormati karena ia amanah. Ia tidak menggunakan jabatannya untuk korupsi atau berlaku curang.

Konteks ini sangat relevan untuk menyikapi kekerasan dalam pendidikan yang kadang dilakukan oleh oknum yang memiliki kuasa. Asy-Syifa menunjukkan bahwa semakin tinggi ilmu dan kekuasaan seseorang, seharusnya semakin besar pula tanggung jawabnya untuk menjaga ketertiban dan keadilan, bukan menjadi pelaku kekerasan.

Asy-Syifa binti Abdillah wafat sekitar tahun 20 Hijriah, meninggalkan warisan abadi tentang bagaimana menjadi manusia berilmu yang beradab. Ia mendedikasikan hidupnya untuk ilmu, ibadah, dan menolong orang lain.

Mari belajar dari Asy-Syifa, jadikan ilmu sebagai jalan untuk merawat kehidupan, bukan menghancurkannya. Wallahu a’lam.

Facebook Comments