Belakangan ini ujaran kebencian dan kekerasan bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) kian marak di tengah masyarakat terutama di ranah cyber atau dunia maya. Menurut data yang disampaikan oleh Direktorat Cyber Crime Polri, sebanyak 80 persen kasus cyber didominasi oleh ujaran kebencian. Kementerian Komunikasi dan Informasi juga merilis bahwa data laporan yang masuk melalui email aduan konten Kemenkominfo didominasi konten bernuansa SARA yang mencapai 5142 aduan pada Januari 2017.
Apakah ada hubungan korelatif antara penyebaran konten di dunia maya dengan realitas dunia nyata? Apabila kita catat, beberapa peristiwa konflik sosial yang terjadi di masyarakat juga disebabkan postingan di media sosial. Hal ini misalnya terlihat dalam peristiwa di Tanjung Balai Sumatera Utara yang berujung pada pembakaran Vihara yang disebabkan isu yang beredar di media sosial. Selain itu tim Terpadu penanganan Konflik sosial pada Maret 2017 merilis konflik sosial bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia antara tahun 2015-2016 mencapai 1568 kejadian.
Konflik SARA memang meresahkan kita bersama. Banyak hal menjadi pemicu konflik tersebut di antaranya provokasi, hasutan, kebencian, dan intoleransi. Secara psikologis, konflik SARA lebih disebabkan sulitnya sikap dan pemahaman yang dimiliki seseorang dalam menerima sebuah perbedaan. Ketidakmampuan dalam memandang perbedaan sebagai keniscayaan yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa serta ketidakmampuan seseorang untuk melihat perbedaan ada agar segalanya lebih indah dan lebih berwarna merupakan sumbu yang melahirkan konflik. Titik ekstrim dari sikap psikologis tersebut adalah ketika seseorang merasa dirinya, kelompoknya dan pahamnya yang paling benar yang lain salah dan sesat (fanatisme). Sehingga pemahaman demikian seringkali memicu tindakan kekerasan yang berujung konflik sosial.
Gus Dur mengatakan “Tidak penting agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agamamu”. Pesan Gus Dur ini layak untuk direnungkan bersama dan dihubungkan dengan beberapa peristiwa yang terjadi. Kebaikan dan berbuat baik menjadi ukuran kemanusiaan kita seperti beberapa peristiwa yang pernah terjadi dari aksi kepahlawanan dari seorang pemuda bernama Riyanto dan wanita asal Amerika yang bernama Rachel Corrie.
Nama Riyanto masih tersimpan di benak kita. Ia seorang pemuda kelahiran Kediri yang aktif di Barisan Anshor Serbaguna (Banser) yang harus merengguk nyawa atas aksi heroiknya menyelamatkan ratusan jamaah gereja saat sedang membantu mengamankan pelaksanaan ibadah malam Misa Natal umat kristiani di Gereja Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 2000 silam. Riyanto rela mengorbankan nyawanya dengan mendekap sebuah bungkusan yang berisi Bom.
Kisah lainya datang dari seorang remaja 23 tahun. Ia adalah Rachel Corrie mahasiswi asal Amerika, seorang wanita penggiat perdamaian yang bergabung dengan International Solidarity Movement (ISM) dan Gerakan Solidaritas untuk Palestina. Corrie harus mengalami nasib sama dengan Riyanto dengan meninggal mengenaskan saat menghadang Buldozer milik tentara Israel yang hendak meratakan rumah milik warga Palestina di jalur Gaza tahun 2003.
Kisah Riyanto dan Rachel yang mengorbankan nyawa demi kemanusiaan tanpa memandang suku, agama, ras dan kelompok layak untuk dihayati oleh kita bersama. Riyanto yang beragama Islam rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan umat yang berbeda agama. Begitu pula yang dilakukan oleh Corrie. Namun, kebaikan tidak mengenal agama, suku dan ras.
Keduanya dicintai tidak saja Riyanto yang dikenang umat Kristiani, tetapi juga Corrie dikenang penduduk Muslim Palestina. Hal ini kembali saya teringat pada petuah bijak ini “Tidak penting agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agamamu”. Kebaikan itu universal dan tidak mengenal identitas.
Di tengah maraknya ujaran kebencian, hasutan, intoleransi dan kekerasan yang berujung kepada aksi radikalisme sudah sepatutnya kita mengambil hikmah dan teladan dari dua kisah ini. Tidak ada kebaikan yang tidak akan dipuji. Begitu pula sebaliknya, tidak ada keburukan yang tidak akan dicerca. Apapun agamamu apabila kemanusiaan yang dikedepankan akan menuai kebaikan.
Nilai kemanusiaan bersifat universal tidak memandang identitas dan atribut sosial, budaya dan agama. Mari tanamkan nilai kemanusiaan dan kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa yang ber-bhineka tunggal ika. Mengutip apa yang dikatakan Sayyidina Ali Bin Thalib “Dia yang bukan saudara mu dalam iman, adalah saudara mu dalam kemanusiaan. #persaudaraankemanusiaan