Ahli sejarah kenamaan, Ibnu Ishaq, menceritakan di antara salah satu pejuang yang gugur dalam Perang Uhud adalah Mukhairiq, pria keturunan Suku Quraidhah. Dia seorang tokoh Yahudi yang benar-benar berkomitmen teguh pada perjanjian bersama yang dibuat antara mereka dengan pihak Muhammad Saw, saat di Madinah.
“Wahai orang-orang Yahudi, demi Allah, kalian tahu bahwa kalian wajib menolong Muhammad,” kata Mukhairiq, saat jelang berkecamuk Perang Uhud melawan kaum musyrikin.
“Sekarang ini hari sabtu,” sergah mereka. Bagi umat Yahudi, Sabtu adalah hari khusus untuk beribadah yang karenanya terlarang melakukan aktifitas apapun, termasuk berperang.
“Tak ada lagi hari Sabtu bagi kalian,” tegas Mukhairiq, sembari mengambil pedang dan perlengkapan perang lainnya. “Jika aku mati, hartaku milik Muhammad. Ia boleh melakukan apa pun sekehendaknya,” imbuhnya berwasiat perihal hartanya andaikan ia ditakdirkan gugur di medan Perang Uhud.
Benar belaka, Mukhairiq yang seorang alim Taurat ini menunjukkan komitmennya yang mendalam untuk berperang di pihak kaum muslim hingga akhirnya ia terbunuh. Melihat gugurnya Si Yahudi ini, maka Rasulullah Saw berkomentar singkat penuh kejujuran: “Mukhairiq adalah sebaik-baik orang Yahudi.”
Selain disampaikan oleh Ibn Ishaq, kisah ini juga dituturkan oleh Ibn Hisyam al-Mu’afiri dalam al-Sirah al-Nabawiyyah (1415 H/1994 M, III/44). Kendati ada sebagian yang meragukan validitasnya, nilai luhur kisah ini sungguh menggugah kesadaran kita perihal arti penting menegakkan komitmen pada perjanjian yang disepakati bersama sebagai masyarakat yang hidup di wilayah yang sama.
Sesungguhnya banyak hikmah penting nan luhur yang bisa dipetik dari kisah “kesyahidan” Mukhairiq ini. Istilah “kesyahidan” barangkali kurang pantas disematkan padanya, mengingat terma ini acapkali hanya disematkan pada pejuang muslim yang berperang karena membela Allah Swt dan Rasul-Nya, sementara Mukhairiq hanyalah orang yang meninggal lantaran membela komitmen sosial kemasyarakatannya untuk saling membantu penduduk Madinah ketika menghadapi persoalan. Namun gugurnya Mukhairiq tetap memberi andil bagi perjuangan menegakkan kalimah Allah Swt; dan ini ini tak bisa dipungkiri.
Dan diantara hikmah yang sepatutnya dipetik oleh generasi muslim saat ini, misalnya: Pertama, nyatanya tidak semua orang yang berbeda keyakinan dengan kita serta-merta memusuhi kita dan ajaran kita. Banyak orang baik di luaran sana yang seringkali kebaikannya justru kita abaikan. Tak jarang mereka bahkan rela mengorbankan segala-galanya untuk memegangi komitmen kebersamaan sebagai warga masyarakat.
Dalam sejarah awal Islam, banyak kisah pembelaan orang-orang non-muslim pada Muhammad, yang sepatutnya menjadi pelajaran penting. Abu Thalib juga membela Muhammad, keponakannya, kendati tidak pernah menyatakan keislamannya. Abdullah bin Uraiqit al-Laitsi, seorang pemuda pagan, didaulat sebagai penunjuk rute perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Makkah ke Yatsrib beserta Abu Bakar dan seorang sahanya. Posisi penunjuk jalan ini tidak main-main karena menyangkut keselamatan nyawa utusan Allah Swt yang membawa misi Islam itu. Buhaira, Waraqah bin Naufal, dan sebagainya, juga menjadi contoh non-muslim yang baik dan memihak Muhammad.
Kedua, untuk memegangi komitmen bersama sebagai warga-bangsa Madinah, Mukhairiq rela mengorbankan segalanya. Apalagi sekedar harta, bahkan nyawa satu-satunyapun diserahkan untuk menunjukkan prinsipnya memegang komitmen itu. Tentu bukan soal pembelaan pada Islam dan ajarannya yang menjadi catatan, melainkan pada komitmen sosial-kemasyarakatannya. Dan ini sudah cukup sebagai bukti nyata kebersamaan dalam perbedaan yang mewujud dalam masyarakat.
Dan sudah semestinya, setiap unsur masyarakat yang hidup dalam wilayah tertentu dan terikat dengan komitmen bersama sebagai warga, benar-benar memegang komitmen ini hingga titik darah penghabisan. Dalam konteks Indonesia, seluruh unsur masyarakat yang berbhinneka ini semestinya juga memegangi teguh komitmen berbangsa dan bernegara yang diikat-erat oleh Pancasila dan UUD 1945. Semua unsur harus hidup dan tunduk patuh di bawah kendali dua “jimat sakti” ini dan tidak semestinya membuat gerakan-gerakan yang menyalahi apalagi memakari keduanya. Inilah yang dicontohkan oleh seorang Yahudi bernama Mukhairiq.
Ketiga, untuk memegang komitmen hidup bersama itu, seorang Yahudi bernama Mukhairiq bahkan rela menyerahkan harta bendanya untuk kepentingan perjuangan Muhammad dan kaum muslim. Ini dilakukannya setelah ia ditakdirkan meninggal dunia dalam Perang Uhud itu. Atas kedermawanannya ini, bahkan Muhammad menyebutnya sebagai Yahudi terbaik. Inilah yang oleh banyak orang dinilai sebagai sejarah wakaf yang pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Dan pemberi wakaf pertama itu tak lain seorang Yahudi.
Kisah di atas sungguh menggugah kebersamaan kita sebagai umat manusia yang sesungguhnya berkeluarga satu sama lain, kendati kita memiliki keragaman yang tidak bisa dinafikan, baik keragaman agama, suku, bahasa dan sebagainya. Sebagai keluarga besar, sudah sepantasnya kita saling tolong-menolong dan bantu-membantu antar sesama anggota keluarga. Dan untuk membela keutuhan keluarga ini, semestinya apapun dikorbankan, baik nyawa maupun harta.