Maulid itu bidah. Haul kiai itu bukan tradisi Islam. Nyadran itu syirik. Ungkapan tersebut dan ungkapan sejenis sering kali kita dengar dari para penceramah agama fundamentalis. Tidak lupa, mereka mengutip berderet ayat dan hadist untuk mendukung argumennya. Puncaknya, mereka berfatwa bahwa syariah Islam hari ini sudah banyak tercemar oleh tradisi, dan tugas umat adalah untuk memurnikan kembali sakralitas Islam.
Agenda pemurnian Islam (Islamic purification) ini dalam perkembangannya telah melahirkan sejumlah problem. Kehendak untuk memurnikan Islam sekilas memang heroik. Namun, kaum puritan kerap lupa bahwa puritanisme keagamaan cenderung mengingkari kenyataan akan pluralitas aliran agama. Apalagi jika ide puritanisasi agama itu disokong oleh pendekatan kekerasan bahkan teror. Maka, tidak berlebihan jika puritanisme kerap disebut sebagai akar ekstremisme dan terorisme di dunia Islam.
Dalam konteks Indonesia, gugatan terhadap ekspresi keislaman yang berkelindan dengan kearifan lokal itu kian santer terdengar. Banyak penceramah konservatif dengan terang-terangan menyebut ekspresi keislaman yang berkelindan dengan kearifan lokal itu berbahaya karena dapat merusak akidah dan membuat umat jauh dari nilai-nilai Islam. Benarkah kearifan lokal itu mendorong terjadinya desakralisasi agama, distorsi akidah, bahkan deislamisasi?
Jika kita berpikir dengan obyektif, maka segala tuduhan kaum puritan yang menganggap akulturasi Islam dan budaya lokal itu menyebabkan desakralisasi, deislamisasi dan distori akidah itu salah kaprah. Mengapa demikian? Alasan pertama, akulturasi Islam itu terjadi atas motif dakwah Islam periode awal. Kala itu, sebagai ajaran agama baru yang dianggap asing, Islam harus mencari celah agar bisa diterima oleh masyarakat Nusantara.
Dakwah Islam Pendekatan Budaya
Selain celah politik, yang paling memungkinkan adalah celah kebudayaan. Maka, para pendakwah Islam periode awal memakai pendekatan sosio-kultural untuk mendakwahkan Islam. Mereka mengadaptasi produk kebudayaan Nusantara untuk mengenalkan Islam. Dari sini, sebenarnya terjadi proses islamisasi budaya Nusantara oleh para pendakwah periode awal tersebut.
Itu artinya, ritual atau ekspresi keislaman khas Nusantara yang kita kenal selama ini sebenarnya sudah diakuisisi oleh Islam. Misalnya, ritual Nyadran atau sedekah laut yang kerap dicap syirik oleh kelompok puritan. Ritual itu sebenarnya bukan lagi berisi persembahan pada dewa atau kekuatan alam. Melainkan lebih sebagai wujud rasa syukur dengan saling berbagi terhadap manusia dan alam semesta.
Alasan kedua, akulturasi Islam dan kebudayaan lokal itu hanya terjadi dalam konteks bungkus atau kemasan dan tidak sampai pada hakikat atau subtansi agama, yakni akidah. Adaptasi kearifan lokal oleh Islam dimasa dakwah periode awal itu terjadi di wilayah yang disebut eksoteris. Yakni wilayah simbol, ekspresi, dan ritual seremonial, bukan pada wilayah ibadah apalagi akidah.
Ritual seperti Nyadran, Sedekah Laut, dan sebagainya itu hanyalah ekspresi kultural dan bukan dikategorikan sebagai ibadah. Artinya, ekspresi keislaman yang berkelindan dengan kearifan lokal itu sama sekali tidak berhubungan dengan akidah. Dalam konteks akidah dan ibadah, Islam Indonesia jelas mengacu pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang diwakili oleh empat mazhab (Syafii, Hanafi, Hambali, dan Maliki).
Alasan ketiga, akulturasi Islam dan kearifan lokal tidak mengurangi sedikit pun nilai kesucian Islam. Bahkan, pada titik tertentu akulturasi itu justru memperkaya ekspresi keislaman umat muslim. Akulturasi Islam dan kearifan lokal Nusantara telah memperkaya khazanah keislaman, tidak hanya dalam kebudayaan melainkan juga dalam hal keilmuan.
Tidak terhitung jumlahnya karya tulis yang dihasilkan oleh para ulama-ulama Nusantara. Sebut saja misalnya kitab yang ditulis oleh Syekh Nawawi al Bantani yang begitu masyhur di Arab Saudi hingga saat ini. Atau kitab yang ditulis oleh Syekh Ahkmad Khatib Minangkabaui yang hingga saat ini masih dikaji di universitas Al Azhar. Dan masih banyak karya klasik dari ulama Nusantara lainnya.
Kebanggaan Menjadi Islam Indonesia
Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tudingan kaum fundamentalis yang menyebut kearifan lokal sebagai pemicu desakralisasi agama bahkan deislamisasi itu adalah hal yang dibuat-buat dan berlebihan. Tudingan ini sekaligus membuktikan betapa kaum fundamentalis itu mengidap sindrom inferiority complex.
Yakn gejala rendah diri pada identitas dan karakter sendiri lalu memuji kebudayaan lain secara berlebihan. Gejala inferiority complex beragama kaum fundamentalis ini tampak jelas pada sikap emoh pada budaya Nusantara dan pengagungan berlebihan pada budaya Arab. Lantas, dengan sembrono mengkliam semua budaya Arab itu sebagai ajaran Islam. Alhasil, Islamisasi kerap ditafsirkan secara dangkal melalui arabisasi.
Gejala inferiorty complex dalam beragama seperti dialami kaum fundamentalis-puritan itu jelas harus disembuhkan. Caranya adalah dengan membangun kebanggaan pada identitas Islam Indonesia yang kaya akan dimensi lokalitas. Bahwa menjadi muslim Indonesia adalah menjadi umat Islam yang adaptif pada kultur lokal dan terbuka pada dinamika kebudayaan.