Sungguh, rasa empati dan kemanusiaan pengusung khilafah telah hilang dengan menuding korban bencana alam sebagai manusia terkutuk. Terjadinya bencana karena penduduk Indonesia tidak setuju dengan sistem pemerintahan khilafah yang mereka perjuangkan. Naif memang, menghubungkan dua kutub persoalan yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Bencana dan khilafah bukan dua hal memiliki hubungan, sama sekali tidak. Sebuah penilaian tak masuk akal.
Pendukung khilafah adalah korban ideologi radikalisme yang memang bertujuan menciptakan keonaran dan keresahan di muka bumi. Sebab ideologi ini ingin menyatukan semua manusia masuk ke dalam pemahaman agama versi mereka. Suatu cita-cita yang justru melampaui kehendak Tuhan sendiri yang dengan kodratnya menciptakan manusia dalam keberagaman.
Maka, sesungguhnya, bencana terbesar bagi bangsa Indonesia bukanlah bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan yang ditimbulkan oleh paham radikal seperti dianut oleh kelompok pendukung khilafah yang akan berujung pada aksi-aksi terorisme.
Mereka adalah orang-orang yang tak kuasa berpikir jernih serta tidak ada pancaran iman dalam hatinya. Menuding bencana karena NKRI anti khilafah kian menegaskan matinya lentera spiritual keimanan dalam dirinya. Tidak mencerminkan manusia beragama. Bagaimana tidak, apapun dilakukan demi mencapai tujuan. Sekalipun harus menjual agama. Tidak ada orang yang beriman tega menuding dan mengutuk korban bencana sebagai pendosa yang diadzab Tuhan.
Kalau berpikir secara jernih siapapun akan memahami, bahwa kelompok radikal hanyalah gerombolan orang yang menyeret agama dalam ruang politik semata. Hanya ingin meluluhlantakkan kokohnya bangunan kebangsaan, supaya NKRI dilanda konflik dan pertikaian, pada saat itulah mereka akan bergerak merebut kekuasaan. Kalau sudah berkuasa, mereka akan melakukan beragam pemaksaan supaya semua penduduk mengikuti ideologi mereka. Kalau tidak, maka akan dibantai sebagaimana fakta-fakta sejarah masa lalu dan fakta masa kini dibeberapa negara Islam yang berhasil mereka hancurkan.
Disebut sebagai bencana terbesar bagi bangsa ini, karena ideologi radikalisme menghilangkan akal sehat dan nurani kemanusiaan, visi kebangsaan menjadi buram karena hanya sistem pemerintahan khilafah yang ada dibenak mereka. Padahal sistem pemerintahan dalam Islam tidak disebutkan secara jelas, baik dalam al Qur’an maupun hadits. Karena negara bukan tujuan melainkan sarana. Maka, setiap bentuk negara diserahkan pada kreatifitas ijtihad manusia. Sistem apapun, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal ajaran Islam layak untuk dipakai.
Memaksakan suatu sistem pemerintahan seperti khilafah adalah kekeliruan, apalagi kalau sampai dibuat untuk menjustifikasi kepentingan politik. Coba kita pikir, sesadis itukah agama Islam yang diturunkan untuk menyelamatkan manusia, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin?
Tentu tidak. Tuhan memiliki sifat kasih sayang dan memuliakan manusia seluruhnya. Dia juga menegaskan dalam kitab suci sebagai pemegang mutlak untuk menentukan siapa saja yang layak diberi hidayah atau petunjuk. Kalau kemudian ada kelompok atas nama Islam memaksakan kehendak, apalagi kalau yang dipaksakan itu sesuatu yang buram seperti khilafah, apakah layak disebut manusia beriman? Padahal di dalam hatinya tidak ada lentera keimanan sama sekali. Manusia beriman itu diliputi kasih sayang dan sikap welas asih. Orang beriman semestinya beragama dengan mengedepankan agama yang ramah, bukan marah.
Terakhir, apakah elok dan pantas disebut manusia beragama, di tengah tetesan air mata korban bencana dengan segala kegundahannya ada cibiran mereka sedang diadzab dan dilaknat Tuhan? Menggunakan isu agama dalam ranah bencana sungguh hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab. Politisasi agama dalam bencana tidak bisa dipungkiri hanya untuk memprovokasi masyarakat supaya membenci NKRI, supaya tercipta kekacauan dan pertikaian.