Bersama-sama Mengisi Arah Hidup Bangsa

Bersama-sama Mengisi Arah Hidup Bangsa

- in Narasi
1046
0

“Bangsa yang tidak mempunyai isi-hidup dan arah-hidup adalah bangsa yang hidupnya tidak dalam, bangsa yang dangkal, bangsa yang cetek, bangsa yang tidak mempunyai levensdiepte sama sekali.”

Pernyataan Bung Karno ini sangat tepat untuk menjadi refleksi 72 tahun kemerdekaan Indonesia. Bung Karno mewanti-wanti agar semua elemen bangsa serius dalam membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” bagi anak bangsa. Lembaga pendidikan mempunyai tugas paling depan untuk membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” tersebut. Dari rahim lembaga pendidikan, bangsa ini bisa keluar dari jebakan kedangkalan.

Jaman Bung Karno dan jaman sekarang tentu saja berbeda. Tetapi spirit dalam membangun “isi-hidup” dan “arah-hidup” tetaplah sama. Untuk itu, laju perkembangan teknologi digital harus dimanfaatkan untuk menguatkan “isi-hidup” dan “arah-hidup” setiap anak bangsa. Harus ada kerja keras dan kerja cerdas, karena tidak bisa hanya dilalui dengan tumpukan administrasi saja. Taruhannya sangat besar: masa depan peradaban bangsa.

Karena teknologi digital semakin bergerak cerdas (smartphone, misalnya), maka semuanya harus bersama-sama mengisi arah hidup bangsa agar berlaku cerdas. Orang tua harus menjadi smart parent, guru menjadi smart teacher, sekolah menjadi smart school, dan masyarakat menjadi smart society. Kenapa demikian? Hampir semua orang, apapun profesinya, tidak mau ketinggalan dalam menggunakan smartphone. Dalam satu meja kantor, bisa tidak saling bertegur sapa, karena sibuk dengan smartphone masing-masing. Tentu saja, smartphone punya sisi positif dan negatif.

Dalam dunia pendidikan, smartphone menjadi tantangan serius. Peserta didik menjadi subjek sekaligus objek yang harus diperhatikan serius, karena kalau smartphone salah menggunakannya, maka peserta didik justru bisa terjebak dalam sisi negatif. Kita simak hasil suveri dari The Asian Parent Insight pada awal tahun 2014 yang menegaskan bahwa 98 persen anak sudah menggunakan smartphone yang dimiliki orang tuanya. Survei ini dilakukan dengan melibatkan 2.500 orang tua di Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Kebanyakan orang tua, dalam survei tersebut, berpendapat bahwa smartphone mempunyai makna positif bagi orang dewasa, karena membantu dalam komunikasi, kerja, dan lainnya. Tetapi kebanyakan orang tua juga berpendapat bahwa smartphone berdampak negatif bagi anak-anak. Kebanyakan anak yang menggunakan smartphone lebih asyik bermain game dari pada belajar dan bersosialisasi dengan temannya.

Fakta ini menjadi tantangan serius bagi lembaga pendidikan. Anak-anak yang sibuk dengan smartphone ini selain mengancam proses pembelajaran, juga sangat berbahaya ketika menerima keanekaragaman di sekelilingnya. Kebinekaan yang sudah melekat dalam kehidupan bisa sulit diterima, karena smartphone membuat anak kurang pergaulan dan gagap melihat kondisi sekitar. Padahal, pendidikan kebinekaan harus dipratekkan dalam keseharian. Kalau anak gagap melihat kebinekaan, maka sangat berbahaya melihat kondisi sebagian masyarakat yang mulai tidak ramah dengan keanekaragaman suku, budaya, ras, bahasa, dan agama yang melekat di Indonesia.

Menjadi Terdepan

Orang tua dan guru menjadi garda terdepan di sini. Menurut Muhammad Hidayat (2017), orang tua tidak boleh kalah dengan bersaing dengan smartphone. Orang tua harus meningkatkan pengetahuan terkait psikologi perkembangan anak, bagaimana menstimulasi kecerdasan anak, berkomunikasi yan baik dengan anak, dan lain sebagainya. Orang tua adalah teladan anaknya. Makanya, orang tua harus melakukan stimulasi dan pendampingan yang tepat pada anak. Momentum kebersamaan dengan keluarga harus dijaga, smartphone harus dikesampingkan terlebih dahulu. Waktu yang berkualitas dan perhatian penuh pada anak membuat anak menjadi bangga dengan orang tua, bukan dengan smartphone.

Demikian juga dengan guru, waktu di ruang kelas harus digunakan untuk proses pembelajaran secara maksimal. Guru harus memanfaatkan aplikasi teknologi dalam proses pembelajaran. Salah satu aplikasi yang tersedia seperti schoology bahkan bisa mendekatkan jarak antara guru, siswa dan orang tua. Siswa dan guru bisa dimudahkan dalam penyampaian materi pembelajaran, ujian, hingga koreksi soal tanpa dilakukanm manual. Siswa juga sekedar memanfaatkan teknologi ketika menerima perintah mengerjakan ujian. Orang tua juga bisa memantau. Dengan sepengetahuan guru, orang tua boleh melihat hasil ujian yang dikerjakan anak-anaknya.

Dalam konteks kebinekaan, guru menjadi salah yang terdepan dalam kesuksesan pendidikan karakter anak dalam memahami dan mempraktekkan kebinekaan. Guru mampu mengolah situasi agar siswa memiliki kemampuan berpikir kritis dan analitis (critical thinking), kreatif dan inovatif (creativity), kolaboratif (collaboration), serta komunikatif (communication). Untuk itu pembelajaran tidak hanya mengandalkan kelas. Dalam problem kebinekaan, guru harus bisa mengajak siswa lebih aktif, memecahkan masalah, bekerja dalam tim, saling menghormati dan menghargai dan tentu konten utamanya adalah nilai-nilai Pancasila. Di sini, seorang guru harus melekat dengan anak didiknya.

Dengan pemahaman demikian, guru dan orang tua juga akan berperan besar dalam mengajarkan anak ihwal kebinekaan. Perangkat teknologi harus diarahkan untuk menguatkan karakter anak dalam mempraktekkan kehidupan sehari-hari di tengah kebinekaan Indonesia. Asupan ilmu dan kasih sayang dari orang tua dan guru sangat bermanfaat bagi masa depan anak, dari pada memberikan anak dengan aneka fasilitas dan harta.

Facebook Comments