Bom Bunuh Diri dan Semangat Jihad Pelaku Teror

Bom Bunuh Diri dan Semangat Jihad Pelaku Teror

- in Narasi
481
0
Bom Bunuh Diri dan Semangat Jihad Pelaku Teror

Bom kembali meletus di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung, Rabu (7/12) pagi. Belum diketahui secara pasti apa motif pelaku melakukan peledakan. Namun Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengkonfirmasi kalau peledakan tersebut termasuk bom bunuh diri. Hal ini menjadi indikasi jika ancaman radikalisme dan terorisme masih ada dan terus mengalami transformasi sepanjang zaman.

Senjata paling mematikan adalah kemampuan menjadikan semua orang sebagai teman. Sebuah kata mutiara yang terus menjadi pedoman dalam indoktrinasi terorisme. Mendominasi pengkaderan dengan cara lembut (soft power), yang langsung menyentuh nalar kesadaran. Sehingga seseorang yang sudah bergabung menjadi anggota teror, akan sulit kembali ke jalan toleran.

Metode paling sadis dalam perekrutan anggota teror adalah hipnotis. Cara ini bukan hanya untuk menidurkan seseorang kemudian dikerjai semaunya, melainkan menanamkan perintah-perintah ke dalam alam bawah sadar. Saat seseorang terus ditanami doktrin-doktrin kekerasan, intoleransi, dan makna jihad yang disalahpahamkan, maka bisa dipastikan semua ajaran itu akan menempel kuat di alam bawah sadar.

Tidak kaget jika ada seseorang yang mau melakukan tindakan bunuh diri atas kepentingan orang lain. Menyisir sejarah, banyak kasus teror yang hanya mengangkat motif balas dendam. Pernyataan ini bisa dikuatkan dengan data The Habibie Center yang menyebut serangan terorisme di tahun 2017-2018 ditujukan atas motif balas dendam. Padahal dalam tujuan awal, pengeboman dilakukan dalam rangka jihad. Tentu, ini bukan lagi kepentingan agama, melainkan hawa nafsu yang menuntut kepuasan kematian dari pihak lawan.

Disinilah hebatnya praktik hipnotis tersebut berlangsung. Mereka mampu meracuni pikiran orang tidak dikenal, kemudian memperdayanya untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan demi membalas kematian anggota kelompok sebelumnya. Siklus seperti inilah yang terus menerus diterapkan. Sehingga kematian salah satu anggota teror tidak dipermasalahkan. Asalkan perancang hipnotis hebat tetap bekerja, dan melakukan aksinya di perekrutan anggota.

Salah satu tokoh terorisme yang terkenal dengan kemampuan ini adalah Noordin M. Top. Pria yang lahir 11 Agustus 1968 ini, tidak hanya mahir merakit bahan peledak, melainkan mampu memasukkan doktrin berbahaya dalam waktu cepat. Setidaknya, ada empat kasus pengeboman besar, yang mana Noordin M. Top adalah pelaku dibaliknya. Sebut saja, bom JW Marriott tahun 2003, bom di Kedutaan Australia pada tahun 2004, pengeboman di restoran padat warga asing di Denpasar, Bali tahun 2005, serta bom di Mega Kuningan di tahun 2009.

Sebelum aktif dalam aksi teror, Noordin terlebih dahulunyantridi Pondok Pesantren Luqmanul Hakiem. Pemilihan pondok ini bukan tanpa alasan, akan tetapi dia sudah merencanakan dari awal untuk berafiliasi dengan Jaringan Jemaah Islam. Kemampuan mempengaruhi Noordin memang luar biasa, yang menyebabkan dirinya diangkat sebagai Kepala Sekolah di pesantren tersebut. Ada sekitar 350 santri yang bermukim disana.

Kemampuan ini tidak hanya berbahaya pada saat eksekusi, namun juga berbahaya saat proses penangkapan. Anggota kepolisian kesulitan menangkap sosok Noordin M. Top. Pernah dilakukan beberapa percobaan, dan empat kali diantaranya gagal memenjarakan sasaran. Tercatat, di tahun 2005, Noordin pernah lolos saat penangkapan di Kota Batu. Kemudian tahun 2006, penyergapan di Wonosobo, tahun 2008 penyergapan di Palembang, dan Agustus 2009 dilakukan penyergapan di Bekasi. Kesemuanya Noordin M. Top berhasil lolos dengan mengorbankan beberapa anggota bawahannya.

Sebuah garis besar yang dijadikan pelajaran kelompok teror dalam merencanakan penyerangannya adalah modal mempengaruhi dengan cepat. Kemampuan seperti Noordin M. Top dijadikan senjata dasar dalam membentuk sebuah organisasi teror. Biasanya, metode ini dikembangkan dengan akses politik, seperti penguasaan masjid dan perizinan pendirian organisasi, untuk memperluas pergerakan.

Pun tren budaya digitalisasi, membuat senjata tambahan bagi pelaku teror. Mereka tidak perlu melakukan gerilya dari satu tempat ke tempat lainnya. Cukup menebar jaring dengan upload konten radikal ke media sosial. Apabila ada yang tertarik, segera mereka memasukkan doktrin-doktrin teror hingga korbannya mau bergabung dan siap mati demi organisasi. Cara seperti ini, menjadi senjata kelompok ISIS untuk mendatangkan anggota dari luar negara.

Sungguh terorisme yang terjadi tidak bisa diberantas dengan cara biasa. Tidak bisa hanya menjatuhkan organisasinya, kemudian melakukan penyadaran. Perlu dilakukan langkah lanjutan, seperti blokir informasi agar akses mempengaruhi tidak lagi dimiliki. Dengan blokir komunikasi, setidaknya kelompok teror tidak memiliki akses dalam pengkaderan. Pada akhirnya, doktrin berbahaya yang terus mereka gemakan di media bisa berhenti bekerja. Maka dengan cara inilah, diradikalisasi yang dijalankan akan berjalan lebih efektif.

Facebook Comments