Lingkaran Setan Terorisme dan Kompleksitas Program Deradikalisasi

Lingkaran Setan Terorisme dan Kompleksitas Program Deradikalisasi

- in Narasi
423
0
Lingkaran Setan Terorisme dan Kompleksitas Program Deradikalisasi

Pelaku bom bunuh diri tunggal di depan Polses Astana Anyar, Bandung yakni Agus Sujatna alias Agus Muslim diketahui merupakan mantan napiter. Ia pernah dihukum penjara 4 tahun lantaran terlibat aksi bom panci di Cicendo. Dalam pernyataan persnya, Kapolri menyatakan bahwa Agus keluar dari penjara Nusakambangan beberapa bulan lalu dalam status “merah”.

Status napiter “merah” ini digunakan untuk mengkategorikan narapidana yang masih berpandangan ektrem dan belum mau menjalani proses deradikalisasi. Apakah ini menandakan bahwa proses deradikaliasi itu gagal? Tentu sangat terburu-buru untuk mengatakan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah itu gagal.

Terbukti, tidak semua mantan napiter kembali ke jaringan teroris pasca keluar dari penjara. Sebagian besar mantan napiter justru kembali ke masyarakat dan menjadi warga yang normal alias tidak lagi terlibat jaringan terorisme. Bahkan, nama-nama “besar” dalam dunia terorisme seperti Ali Imran pun bisa disadarkan dan bahkan kini berbalik arah menjadi mitra pemerintah dalam memberantas terorisme.

Mengutip pakar terorisme Noor Huda Ismail, ada beragam faktor mengapa mantan napiter kembali terlibat jaringan terorisme. Antara lain, faktor ideologis yakni masih bercokolnya paham radikal-ekstrem pada diri napiter. Biasanya, ketika di penjara mereka menutup diri dan menolak untuk menjalani proses deradikalisasi. Di titik ini, aparat tidak bisa memaksa namun hanya bisa berusaha semaksimal mungkin agar napiter tersebut membuka diri.

Faktor lainnya adalah kondisi ekonomi pasca keluar dari penjara. Banyak mantan napiter yang mengalami kesulitan ekonomi pasca keluar dari penjara akhirnya kembali ke jaringan teroris. Sudah menjadi hal yang klise bahwa kondisi ekonomi yang sulit menjadi pemicu seseorang bergabung di jaringan teroris. Janji-janji manis tentang kenikmatan surga dan hadiah bidadari menjadi iming-iming yang menggiurkan bagi sebagian orang untuk masuk ke jaringan teroris.

Selain itu, ada pula mantan napiter yang kembali ke kelompok teroris karena tidak lagi diterima oleh keluarga dan masyarakat. Keterasingan itu membuat mereka memutuskan kembali ke jaringan teroris karena disana mereka bisa diterima.

Sulitnya Keluar dari Lingkaran Setan Terorisme

Kasus bom bunuh diri di depan Polsek Astana Anyar oleh mantan napiter menyiratkan sejumlah hal. Betapa fenomena terorisme layaknya lingkaran setan yang sukar diputus. Bahwa tidak mudah bagi seseorang yang telah terpapar ideologi ekstremisme-terorisme untuk “bertaubat”. Dalam kasus bom bunuh diri di Astana Anyar, pelaku justru mengalami semacam transformasi peran.

Jika sebelumnya pada kasus bom Cicendo dia hanya sebagai perakit bom alias berada di balik layar, kali ini ia tampil sebagai pelaku tunggal yang meledakkan diri. Hal ini tentu sungguh ironis. Di luar fakta-fakta itu, kasus bom bunuh diri yang dilakukan mantan napiter ini sekaligus juga menyiratkan fakta lain betapa kompleks-nya agenda deradikalisasi yang dilakukan pemerintah. Berhasil atau tidaknya deradikalisasi tidak semata bergantung pada satu pihak, melainkan kolaborasi semua pihak.

Proses deradikalisasi ini bisa dibagi ke dalam dua tahapan, yakni ketika di dalam penjara dan pasca-keluar dari penjara. Ketika masih di dalam penjara, keberhasilan deradikalisasi sangat bergantung pada keterbukaan napiter untuk membuka diri. Ibarat orang sakit kanker, apakah ia bersedia menjalani proses penyembuhan yang tidak mudah atau tidak. Mengupayakan napiter untuk membuka diri tentu bukan perkara mudah.

Mereka adalah orang-orang yang di dalam otak dan hatinya sudah terpatri keyakinan bahwa pemerintahan ini kafir dan thaghut. Maka, segala sistem, pegawai serta program yang dijalankannya pun haram untuk diikuti. Para napiter ini kadung punya keyakinan kuat bahwa berhubungan dengan pemerintah dan orang-orang yang bekerja di dalamnya adalah sebuah tindakan yang melanggar ajaran agama.

Sinergi Pemerintah dan Masyarakat dalam Deradikalisasi

Efektivitas program deradikalisasi tidak hanya bergantung ketika napiter berada dalam penjara, namun juga ketika sudah keluar dari penjara. Di tahapan ini, keberhasilan program deradikalisasi sangat bergantung pada keluarga, lingkungan terdekat, dan masyarakat pada umumnya. Keluarga, idealnya menjadi supporting system yang kuat bagi para mantan napiter yang telah keluar dari penjara. Keluarga kiranya bisa mendukung, baik secara finansial maupun secara sosial bagi kehidupan napiter pasca menjalani hukuman.

Tidak kalah pentingnya ialah keterlibatan aktif masyarakat untuk mau menerima kembali mantan napiter kembali ke lingkungannya. Penerimaan sosial (social acceptance) ini sangat penting sebagai modal awal mantan napiter untuk kembali menjalani hari-hari baru pasca keluar dari penjara.

Ironisnya, apa yang terjadi di lapangan kerap tidak sesuai dengan apa yang diidealkan. Keluarga mantan napiter dan masyarakat kerapkali belum bisa sepenuhnya menjadi supporting system yang kuat. Di saat yang sama, stereotipe sebagai mantan teroris juga kerap membuat napiter kesulitan untuk diterima kembali di lingkungannya. Jika sudah demikian, jalan untuk kembali ke jaringan teroris akan terbuka lebar.

Facebook Comments