Apakah Muhammadiyah tidak mau bermimpi memiliki universitas bereputasi internasional terbaik di Asia? Rumah sakit berkualitas sekelas Raffles Hospital di Singapura? Memiliki ilmuwan-ilmuwan yang mendapatkan penghargan nobel? Dan menjadi organisasi yang diperhitungkan dalam memediasi konflik antar etnik dan agama di tingkat internasional? Alangkah sayangnya jika pimpinan Muhammadiyah masih melirik opsi berebut kue politik lokal yang akan melelahkan kader-kadernya dan lupa pada mimpi besar- mimpi besar di atas.
Sementara NU, yang memiliki tradisi kuat dalam pengembangan kemampuan masyarakat melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan dan lembaga pendidikan seperti pesantren, harus dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk menyongsong kebutuhan angkatan muda nan berkualitas di masa mendatang. Karena sama halnya dengan Muhammadiyah, NU juga memiliki potensi besar untuk tumbuh menjadi organisasi yang diperhitungkan di mata dunia.
Tiga Agenda
Setidaknya ada tiga medan dakwah yang perlu digarap NU dan Muhammadiyah dalam mengadvokasi Indonesia menuju bangsa maju yang dihargai dunia. Pertama, masalah budaya korupsi yang sudah berakar kuat. Kemajuan Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi baru terlihat dalam penangkapan-penangkapan yang dilakukan KPK. Adapun dalam kehidupan sehari-hari pada level yang lebih praktis di masyarakat, praktek korupsi tidak bekurang bahkan tetap menjamur.
Jikapun pemberantasan korupsi mulai terasa dalam sistem birokrasi pemerintah, hal itu masih sekedar karena takut terhadap ancaman hukuman, bukan karena internalisasi nilai-nilai anti korupsi yang bisa meruntuhkan sendi kehiduan sosial masyarakat.
Masalah yang kedua adalah rendahnya budaya literasi atau cinta ilmu pengetahuan yang dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang. Sementara ini penambahan anggaran pendidikan masih bersifat stimulus untuk menyelesaikan pendidikan formal 9 tahun, belum melangkah pada kualitasnya.
Sudah mulai banyak lembaga pendidkan berkualitas tapi masih lebih banyak lembaga pendidikan yang tidak memiliki komitmen untuk membentuk manusia cerdas Indonesia. Masyarakat masih banyak berfkir bahwa pendidkan formal bekutat soal mendapatkan ijazah sebaga modal untuk bekerja. Sembilan tahun bahkan 12 tahun di sekolah belum direkayasa menjadi periode yang membentuk karakter setiap anak. Akibatnya daya saing SDM Indonesia berkurang.
Ketiga, bencana alam yang disebabkan ulah manusia seperti banjir, longsor, kebakaran, dan kekeringan yang berefek massif bagi masyarakat semakin sering dirasakan masyarakat. Tapi kesadaran untuk menyelesaikannya secara radikal dan komprehensif sangatlah sulit. Budaya buang limbah dan sampah sembarangan (bahkan di sekolah dan pesantren), sanitasi yang tidak sehat, tata kota yang tidak terencana, pembalakan liar, perusakan ekosistem biota laut dan darat terjadi di mana-mana demi satu alasan ; profit.
Kapitalisme menjadi satu–satunya alasan bagi para pelakunya untuk tega mengorbankan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan sesaat. Mindset yang mengejawantah menjadi perilaku sehari-hari manusia Indonesia harus direhabilitasi melalui sekolah-sekolah, pesantren, majelis taklim, masjid, dll, yang menjadi lahan garapan NU dan Muhammadiyah.
Kehilangan fokus dalam mengantisipasi bonus demografi dalam muktamar di Makassar dan Jombang tentu akan membuat NU dan Muhammadiyah kehilangan momen penting dalam memenuhi panggilan negeri untuk memasuki era kejayaan Indonesia.