Seminggu terakhir Indonesia sedang dalam keberkahan Allah. Dua ormas terbesar di tanah air itu menggelar hajatan lima tahunan yang dalam bahasa Arab disebut Muktamar. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia artinya adalah Kongres. Nahdlatul Ulama (NU) menggelarnya di sebuah kota tempat pendiri organisasi ini dimakamkan, Jombang. Sementara Muhammadiyah memilih kota terbesar di wilayah Indonesia Timur, Makassar.
Forum Muktamar adalah forum pertemuan tertinggi yang dimiliki kedua ormas tersebut. Di sana selain membicarakan soal peralihan kepemimpinan juga dibahas persoalan-persoalan lain menyangkut kehidupan masyarakat dan umat dalam berbangsa bernegara.
Di luar agenda-agenda resmi yang diatur panitia, warga kedua ormas itupun memeriahkannya dengan suka cita yang sangat dalam. Para Nahdliyin dan anggota Muhammadiyah dari seluruh penjuru tanah air berbondong-bondong menuju tempat muktamar dengan ragam moda transportasi: laut, darat, dan udara. Atmosfer Jombang dan Makassar mendadak riuh gembira menyambut perhelatan akbar kaum muslimin Nusantara ini.
Dalam hitungan kasar saya, muktamar NU dan Muhammadiyah mampu menyedot kehadiran ratusan ribu kaum Muslimin di Jombang dan Makassar. Untuk kepanitiaan dan kepesertaan resmi muktamar NU saja melibatkan sedikitnya lima ribu anggota, demikian dengan Muhammadiyah. Mereka datang tanpa diongkosi dan lillahi Ta’ala hanya untuk kejayaan Islam dan umatnya (‘izzul Islam wal muslimin).
Belum lagi kehadiran para ‘Romli’ (Rombongan Liar) –istilah Nahdliyin untuk mereka yang datang bukan sebagai peserta resmi. Wakil Gubernur Jawa Timur menyebut sekurangnya sepuluh ribu warga NU setiap harinya keluar masuk kota Jombang, itu tidak termasuk warga yang menetap selama perhelatan muktamar.
Perputaran uang dan ekonomi di tempat dilaksanakan muktamar tak perlu ditanya lagi. Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang dan Propinsi Jawa Timur menghitung sekitar 15 miliar per hari perputaran uang terjadi di wilayah Jombang. Itu belum termasuk perputaran uang di wilayah lain sebagai akibat langsung muktamar, seperti penjualan tiket pesawat, kereta api, pulsa handphone, BBM, dan lain sebagainya.
Penduduk tempat dilaksanakannya muktamar juga tak kalah senang. Tukang becak di Jombang yang seharinya hanya meraup puluhan ribu saja (kurang dari lima puluh ribu) di momen muktamar sanggup manambah omzet hingga ratusan ribu rupiah. Di Jombang dan Makassar para pedagang makanan maupun oleh-oleh dipastikan saat ini sedang bergembira lantaran omzet penjualan mereka melonjak tajam dalam musim muktamar.
Bahkan, molor-nya pelaksanaan Muktamar NU dari jadwal semestinya bukan dianggap sebagai musibah melainkah hikmah dan berkah. Logika sederhananya, jika muktamar yang dijadwalkan lima hari mampu menyedot 75 miliar perputaran uang apalagi kalau enam atau tujuh hari. Intinya semua merasa sedang bergembira dan beroleh berkah.
Aparat keamanan pun tak pernah terlalu sibuk mengatur pengamanan dan potensi gangguan keamanan. Pasalnya, tak pernah sekalipun muktamar yang digelar kedua ormas ini berakhir pada huru-hara. Paling-paling hanya perselisihan internal yang akhirnya dapat diselesaikan lewat mekanisme organisasi. Seperti di Muktamar NU perselisihan bisa langsung dipadamkan oleh Rais Syuriah NU, KH. Mustofa Bisri. Itu artinya semua masih on control.
Demikian dengan aparat intelijen, sudah dipastikan mereka tidak akan sibuk ‘mengintip’ dan menganalisa agenda muktamar dalam kaitan keamanan ideologi negara. Karena mereka pasti tahu, NU dan Muhammadiyah adalah benteng Islam terkuat untuk Indonesia. Tak pernah secuil pun dua organisasi ini berfikir makar atau merubah Pancasila dengan ideologi lain, berkhayal pun tidak.
Dua organisasi ini berpendapat bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala perangkat konstitusinya sudah final dan sesuai syariat Islam. Apalagi soal Pancasila, kedua ormas ini memandang bahwa ideologi bangsa yang diperingati tiap 1 Juni ini dalam sejarah kebangsaan mampu mempersatukan bangsa Indonesia dengan latar belakang agama, budaya, dan etnik. Mau apa lagi?
Tentu tidak mudah menyaksikan perhelatan akbar umat Islam yang on control seperti muktamar NU dan Muhammadiyah. Apalagi bisa memberikan kesejukan bagi masyarakat. Bandingkan misalnya, dengan gelaran aksi Muktamar yang katanya internasional yang digelar di stadion GBK beberapa tahun lalu. Masyarakat pun menghindari jalur sekitar Senayan. Aparat keamanan pun dibuat sibuk karena isinya hanya teriakan merubah ideologi negara.
Ah sudahlah, tidak perlu ngerasani ormas lain yang belum dewasa. Barangkali hanya itu kemampuan mereka. Atau jangan-jangan hanya itu yang sanggup mereka dagangkan kepada umat. Anggap saja mereka sedang jualan ‘ideologi’ meskipun impor. Yang pasti produk dalam negeri –entah apa nama konsepnya: Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Rahmatan lil ’alamin, atau Islam Berkemajuan- lebih aplikatif dan terbukti memberi kontribusi positif kepada bangsa dan negara.
Selamat Bergembira Wahai Para Muktamirin!!!