Bung Karno dan Impian Kebangsaan

Bung Karno dan Impian Kebangsaan

- in Narasi
1253
0

Bulan Juni, bukan hanya diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila, tetapi juga hari kelahiran sang pencetusnya, Presiden pertama dan sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno. Ia dilahirkan pada waktu fajar tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya, Jawa Timur. Oleh karena ia lahir pada saat fajar menyongsong, maka selanjutnya, ia dijuluki pula sebagai “Sang Putra Fajar” (Cindy Adams, 1965).

Tentu saja, dalam momentum kelahiran Bung Karno ini, kita perlu merefleksi, sudah sejauhmanakah negara yang didirikan Founding Fahers ini mampu menjadi rumah yang nyaman bagi warga negara yang tinggal di dalamnya?. Sebab, harus dipahami, perjuangan Soekarno di era penjajahan dulu bukanlah kepentingan individu semata. Tetapi, perjuangan Soekarno terdahulu adalah untuk menciptakan rumah yang nyaman bagi penduduk di seantero nusantara dengan menjauhkannya dari segala bentuk penindasan kaum penjajah.

Ancaman Teror

Dalam momentum ini, kita harus mengakui bahwa negara kita ternyata belum nyaman ditinggali oleh penduduk pribumi sendiri. Banyak ancaman teror dan tindakan-tindakan radikal lainnya yang mengancam rakyat Indonesia. Tak ayal, baru-baru ini kita diperlihatkan aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta.

Harus diakui, radikalisme di Indonesia semakin hari semakin tidak mendapat ruang. Tapi, jika dibiarkan begitu saja, benih dan akar radikalisme akan tumbuh menjadi besar dan kuat. Hingga pada akhirnya, kita berada pada ancaman perpecahan yang lebih besar daripada yang kita alami sekarang. Dalam konteks ini, kita perlu mengetahui sebab dan menggalakkan upaya kontinu dalam menumpas tindakan radikal dan terorisme. Setidaknya terdapat tiga faktor yang mengungkap penyebab tindakan radikalisme dan terorisme.

Pertama, faktor domestik. Yakni masalah kemiskinan, ketidakadilan dan kecewa kepada pemerintah menjadi pemicu orang-orang itu bergabung ke kelompok teroris atau ISIS. Lalu faktor internasional dikarenakan ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan serta imperialisme modern negara super power.

Terakhir, yakni faktor kultural yakni masalah pemahaman sempit tentang kitab suci, terutama Alquran yang ditafsirkan secara bebas. Faktor yang terakhir ini yang selama ini sering terjadi dalam tindakan terorisme, mereka selalu mengatasnamakan agama, ini yang selama ini keliru.

Tentu saja, apapun sebabnya, tindakan radikal dan teror tidak dapat dibenarkan ada di Indonesia. Sebab, hal ini akan mengancam keberagaman yang menjadi ciri khas dari Bangsa Indonesia. Orang-orang yang tinggal dan menempati negara Indonesia juga akan merasa tidak nyaman dengan rumah yang dimilikinya. Padahal, seharusnya, sebagai rumah, Indonesia harus menjadi tempat yang aman, nyaman dan selalu dirindukan saat penghuninya berada di belahan dunia yang lain.

Dalam hal ini, Soekarno sebagai Founding Fathers kita tentu akan merasa sedih, jika ternyata persatuan negara-bangsa yang diperjuangkan masih jauh dari apa yang diimpinkan. Maka, dalam peringatan bulan kelahiran Soekarno ini, kita harus lebih fokus lagi dalam upaya mengintegrasikan keberagaman. Agar tercipta persatuan dan perdamaian sehingga Indonesia dapat menjadi rumah yang nyaman dan aman untuk ditempati.

Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa (Yudi Latif, 2011: 370). Satu bangsa adalah satu soidaritas yang besar. Sehingga, itu menjadi pengikat untuk bisa hidup bersama. Jadi, meskipun agama, bahasa, suku, dan ras bermacam-macam, selagi ia hidup bersama dan memiliki keinginan luhur yang sama terhadap Indonesia, maka mereka adalah satu bangsa. Mereka diikat untuk saling bahu-membahu menciptakan rumah kita Indonesia yang aman, nyaman, dan tentram. Lalu, kenapa harus ada tindakan terorisme dan radikalisme yang mengancam keberagaman kita?

Impian Kebangsaan

Berdasarkan narasi-narasi di atas, jelas bahwa impian kebangsaan Bung Karno sebagai penggagas Pancasila adalah menyatunya rakyat Indonesia dalam kebhinnekaan. Hal ini selaras dengan semboyan kita Bhinneka Tunggal Ika. Artinya, meskipun kita berbeda-beda, kita harus tetap lebih mengedepankan persatuan daripada perpecahan. Bukan sebaliknya.

Karena, kebhinnekaan itulah yang menjadi elemen utama tegaknya Pancasila. Kebhinnekaan merupakan roh Pancasila. Bagaimanapun juga, sejarah juga mencatat bahwa meskipun Piagam Jakarta sebagai embrio Pancasila di awal dimulainya proses persiapan kemerdekaan pada bulan Juni 1945 disusun dengan beragam perbedaan pendapat panjang relasi agama dan negara. Tapi, Piagam Jakarta juga menjadi bukti historis yang otentik kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pun, ia juga menjembatani perbedaan antara agama dan negara.

Peristiwa sejarah tersebut di atas menegaskan, bahwa kebhinnekaan juga dipersatukan dengan spirit yang sama, yakni spirit pembebasan dari penjajahan. Itu juga menjadi bukti bahwa persepakatan tetap dalam komitmen kebhinnekaan dan memilih Pancasila sebagai dasar negara bisa menjadi faktor kekuatan bangsa. Meski pada saat yang bersamaan bisa juga menjadi titik lemah yang rentan perongrongan.

Itulah keniscayaan yang perlu kita pahami. Maka itu, apakah kita akan merawat kebhinnekaan ini demi mewujudkan impian kebangsaan sebagaimana Bung Karno? Ataukah kita justru akan menghancurkannya? Semua ada di tangan kita semua. Tinggal kita pilih, Indonesia mau dijadikan rumah yang nyaman untuk kebhinnekaan, atau bisa juga sebaliknya. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Facebook Comments