Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melantik 9 orang sebagai pengarah dan satu Kepala Unit Kerja Presiden (UKP) Pembinaan Ideologi Pancasila pada Rabu, 7 Juni 2017. Kebijakan ini dapat dipahami sebagai kegundahan dan kerisauan kepala negara dan masyarakat secara umum tehadap fenomena semakin menipisnya penghayatan dan pengamalan ideologi negara dalam kehidupan sehari-hari.
Pada level kebijakan strategis hadirnya unit kerja baru ini tentu dapat dipahami sebagai upaya membendung infiltrasi doktrin dan ideologi yang mengancam NKRI yang telah lama dibiarkan tumbuh subur di negeri ini. Pasca reformasi kebebasan politik yang meniscayakan kebebasan dalam berbagai aspek telah serta mangabaikan bahkan mengancam ideologi negara sebagai ikatan dan fondasi bernegara. Atas nama kekebasan semua kelompok hadir dengan atribut primordialnya yang merusak keharmonisan bangsa.
Maraknya aksi intoleransi, fanatisme kelompok, diskriminasi dan tindakan kekerasan telah mengoyak kebhinnekaan yang telah menjadi ruh dan dasar bernegara. Bahkan dalam banyak hal ideologi berbasis keagamaan telah sengaja dibiarkan lama dieksploitasi untuk merusak persatuan. Islam kerap sekali menjadi korban proses ideologisasi yang mengancam keutuhan negara.
Pemanfaatan identitas keislaman dalam ideologi gerakan politik semakin gencar di tengah semakin melemahnya visi islam moderat di negeri ini. Ancaman melemahnya visi moderasi Islam dapat dilihat dari semakin masifnya infiltrasi pandangan radikal (non-wasathiyya) yang bertentangan dengan semangat kemajemukan bangsa.
Dalam konteks ini kita dapat melihat betapa agama kerap dijadikan alat pembeda, penyubur kebencian terhadap yang berbeda agama, dan penyemai rasa permusuhan terhadap yang lain. Agama tidak lagi dipahami sebagai rahmat bagi semesta dan sebagai ajaran untuk menebar kasih dan sayang terhadap sesama, tetapi justru sebagai alat untuk merusak perdamaian.
Dalam skala yang lebih ekstrim, ada beberapa gerakan yang kembali menumbuhkan narasi dan propaganda untuk membenturkan Islam dengan Pancasila, Islam dengan cinta tanah air dan Islam dengan keutuhan NKRI. Seolah-olah berIslam tidak berjalan seiringan dengan berindonesia.
Islam telah lama hadir di nusantara dengan semangat pemelihara keharmonisan dalam kemajemukan bangsa. Visi Islam yang dipraktekkan oleh para pendahulu adalah Islam yang menghargai perbedaan, Islam yang memupuk persaudaraan sebangsa dan setanah air, Islam yang menyemai kasih sayang terhadap sesama dan Islam yang menjaga keutuhan NKRI.
Di tengah maraknya isu yang mudah membakar emosi keagamaan dan membenturkan identitas keagamaan dengan kemajemukan, visi Islam rahmatan lil alamin harus diperkuat sebagai benteng keharmonisan bangsa. Visi Islam rahmatan lil alamin dalam konteks keindonesiaan adalah semangat untuk mengawal Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.