Sebagaimana berita yang beredar, bahwa Badan Kerohanian Islam atau Bakis PELNI membatalkan kegiatan kajian dalam rangka menyemarakkan bulan Suci Ramadan 1442 H. Kegiatan tersebut dibatalkan karena belum memenuhi prosedur dan ketentuan yang berlaku di perusahaan. Apalagi, ada dugaan bahwa ustadz-ustadz yang rencananya akan mengisi berafiliasi dengan kelompok Wahabi. Sebagaimana tertera di pamflet penceramahnya seperti Firanda Andirja, Rizal Yuliar Putrananda, Syafiq Riza Basalamah, dan Subhan Bawazier.
Pembatalan pengajian online via Zoommeeting tersebut dirasa tepat, mengingat saat-saat ini kita harus semakin berhati-hati dengan doktrin pemahaman yang keliru yang dapat memicu takfirisme, radikalisme, dan terorisme. Apalagi, bangsa ini baru saja mengalami tindakan teror, bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar dan teror di Mabes Polri. Pada intinya kultum, pengajian, ataupun ceramah Ramadhan harus menaati protokol pencegahan takfirisme, radikalisme, dan terorisme.
Ramadhan adalah bulan yang suci. Hari-harinya hendaknya kita hiasi dengan banyak beribadah. Termasuk dalam dakwah melalui ceramah harus lemah-lembut dan tidak memaki-maki ataupun mengolok-olok kelompok lain yang tak sepemahaman sebagaimana kerap dilakukan oleh kelompok Wahabi. Jika takfirisme saja tidak boleh, tentu sangat dilarang dakwah yang kontennya bernuansa doktrin radikalisme dan terorisme. Bangsa ini sudah kerap dilanda pandemi radikalisme dan terorisme.
Indonesia yang notabene adalah negara Islam terbesar di dunia acapkali menjadi target ataupun berulang kali terjadi aksi terorisme selama ini. Tengok saja, sepanjang 2019, masih terekam dalam ingatan mulai dari Bom Sibolga (12 Maret 2019), bom bunuh diri di Pos Polisi Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah (3 Juni 2019), Penusukan Wiranto (10 Oktober 2019), dan di penghujung tahun (13 November 2019) bom bunuh diri di markas Polrestabes Medan (nasional.kompas.com, 25/12/2019).
Kemudian, tragedi kebiadaban di Kabupaten Sigi, Palu Sulawesi Tengah yang menelan empat korban jiwa dan empat rumah terbakar (27 November 2020). Serta teranyar aksi pengeboman di Gereja Katedral Makasar dan penyerangan di Mabes Polri. Sungguh miris memang, membaca rentetan tragedi tragis tindakan teror tersebut.
Berbagai persoalan terkait doktrin takfirisme, radikalisme, ataupun terorisme tersebut tentu tidak muncul tiba-tiba tanpa adanya sebab pemicunya. Dan diantara penebar virus takfiris, radikalisme, atau terorisme ini adalah pengajian-pengajian yang diisi baik oeh ustadz-ustadz intoleran maupun dai-dai radikal. Bahkan, mereka semakin lincah dan lihai di tengah-tengah massifnya kajian online atau pengajian daring. Seolah mereka tahu benar, target empuk yang mereka bidik adalah kaum milenial yang notabene sangat lekat dengan dunia digital.
Pemberlakuan protokol pencegahan takfirisme, radikalisme, dan terorisme ini patut melibatkan seluruh elemen masyarakat. Artinya tak hanya aparat kepolisian saja. Apalagi, mengingat bahaya dan dampak dari pengajian-pengajian bernuansa takfirisme, radikalisme, dan terorisme tak hanya menyangkut masyarakat ataupun jamaah. Namun, lebih dari pada itu menyangkut kepentingan agama dan idiologi negara. Oleh karena itu, protokol pencegahan radikalisme dan terorisme harus melibatkan seluruh elemen bangsa.
Oleh karenanya, sudah waktunya sesegera mungkin melakukan upaya kolektif dengan sinergi antara pemerintah, aparat, masyarakat, tokoh agama, takmir masjid, panitia ramadhan, dan generasi muda untuk bergerak bersama menanggulangi dan memerangi radikalisme dan terorisme. Tentunya, perlu adanya koordinasi yang baik dan intens di antara mereka agar dapat diimplementasikan sesuai sasaran kebijakan protokol pencegahan radikalisme dan terorisme.
Harapannya, dengan serangkaian sinergitas dan penerapan protokol pencegahan radikalisme dan terorisme, tak ada lagi pengajian, kultum, ataupun ceramah yang meresahkan masyarakat. Kita juga dapat menjalankan rangkaian ibadah di bulan suci Ramadhan dengan kusyuk, nyaman, aman, dan damai, semoga.