Denmark Dakwa Tiga Orang Pria Asal Iran Terkait Terorisme

Denmark Dakwa Tiga Orang Pria Asal Iran Terkait Terorisme

- in Narasi
1263
0

Saban tahun, kita menyambut Ramadan dengan gegap gempita, bahkan menjurus euforia. Setiap Ramadan, derajat kesalehan umat meningkat drastis. Masjid-masjid penuh sesak. Sholat jamaah nyaris tidak pernah kekurangan makmum. Al Quran yang hampir setahun berdebu nyaris tidak tidak tersentuh pun didaras setiap hari. Pendek kata, Ramadan ialah festival kesalehan pribadi di sebagian besar umat Islam.

Namun, ketika Ramadan usai, segala euforia itu menguap begitu saja. Kita pun kembali ke sifat semula; rakus, intoleran, gemar bertengkar dan sifat negatif lainnya. Pernyataan ini akan terkesan sinis dan nyinyir belaka. Namun, jika direnungkan ulang pernyataan itu mengandung otokritik yang subtantif.

Sebagai bangsa yang dikenal relijius, dan berpenduduk mayoritas muslim, agama tentu memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Riset yang dilakukan oleh Pew Research Center (PRC) pada tahun 2019 menyebutkan bahwa 93 persen penduduk Indonesia menganggap penting agama dalam kehidupan (berbangsa dan bernegara). Angka itu menempatkan Indonesia di rangking pertama sebagai negara yang penduduknya memandang penting dimensi agama dalam kehidupan sosial dan politik.

Riset PRC ini bisa ditafsirkan ke dalam dua pembacaan. Pertama, kita patut berbangga lantaran itu artinya masyarakat Indonesia memiliki ikatan yang kuat dengan agama. Seperti kita tahu, agama merupakan sumber ajaran moral dan etika yang kiranya akan selalu relevan dengan dinamika zaman. Kedua, kita patut merasa ironis lantaran tingginya angka afirmasi terhadap agama yang hampir mencapai 100 persen itu tidak berbanding lurus dengan penerapan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan kedua itu tentu bukan tanpa dasar. Seperti kita lihat belakangan ini, agama sedemikian merasuk dalam kehidupan masyarakat. Nyaris tidak ada isu sosial dan politik yang tidak disangkut-pautkan atau dibahas dari sudut pandang keagamaan. Dalam konteks politik misalnya, setiap perhelatan politik praktis baik di level daerah maupun pusat nyaris selalu bersinggungan dengan isu agama. Pun di jejaring media sosial, isu agama selalu menjadi trending topic pembicaraan publik.

Namun, di saat yang sama kita juga melihat betapa nilai-nilai agama belum sepenuhnya terejawantahkan dalam kehidupan sosial-politik kita. Hal ini bisa kita identifikasi dari sejumlah fenomena. Mulai dari masih maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang dalam kultur birokrasi kita. Sampai masih langgengnya praktik intoleransi dan radikalisme yang mewarnai relasi keberagamaan dan kebangsaan kita belakangan ini.

Sederet persoalan itu membuktikan betapa lemahnya aspek religiositas kita. Sidi Gazalba mendefinisikan religiositas sebagai sebuah kesatuan komprehensif yang menjadikan seseorang disebut beragama (being religious) dan bukan sekadar memiliki agama (having religious). Dimensi religiositas ini dapat dilihat dari sejauh mana nilai dan ajaran agama dipraktikkan dalam kehidupan sosial. Religiusitas, menurut Gazalba dibangun di atas fondasi pengetahyan, pengalaman, perilaku, moralitas dan sikap sosial keagamaan.

Transformasi Religiositas

Edward Stevens, sebagaimana dikutip oleh Husni Thoyyar, membagi religiositas ke dalam dua macam, yakni value dan velleity. Fenomena religiositas bisa digolongkan sebagai value manakala identitas dan praktik keagamaan terejawantah dalam perilaku yang santun, toleran dan humanis. Sebaliknya, religiositas akan digolongkan sebagai velleity manakala agama hanya dijadikan sebagai sebuah identitas dan kebanggaan tanpa mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jika mengacu pada klasifikasi Stevens tersebut, praktik keberagamaan atawa religiositas di Indonesia tampaknya sebagian besar masih tergolong sebagai velleity. Lebih spesifik dalam konteks Islam, nuansa religiositas dalam corak velleity itu tampak dalam kian berkembangnya nalar beragama yang konservatif, sektarian, bahkan mengarah pada radikalisme dan ekstremisme. Bagi sebagian muslim, Islam tidak dijadikan sebagai fondasi mengembangkan etika dan moral sosial, alih-alih sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan kekerasan terhadap liyan.

Ramadan yang dikenal sebagai bulan ujian namun juga bulan rahmat ini kiranya bisa menjadi semacam madrasah untuk merevitalisasi religiositas kita. Rangkaian ibadah dalam bulan suci Ramadan, mulai dari puasa, tarawih, tadarus al Quran dan sebagainya merupakan ibadah yang bersifat transendental. Jika tidak dielaborasi dan diinterpretasikan secara kritis, ibadah transendental itu rawan menjerumuskan umat pada kesalehan normatif-individualis. Kesalehan normatif-individualis itu tidak lain merupakan manifestasi dari velleity.

Bulan Ramadan ialah momentum paling tepat untuk mengoreksi praktik religiositas kita yang selama ini masih berada di level velleity. Sudah saatnya praktik religiositas kita naik ke level value. Ini artinya, klaim keimanan dan ekspresi kesalehan kita harus konsisten sekaligus koheren dengan perilaku sosial-politik kita. Rangkaian ibadah transendental di bulan Ramadan ini idealnya teraktualisasikan ke dalam sikap keberagamaan yang santun, toleran, dan moderat.

Mengubah orientasi religiositas dari velleity ke value sangat penting kita lakukan. Terutama di tengah menguatnya arus keberagamaan yang eksklusif, konservatif dan radikal. Kultur intoleransi dan kekerasan atas nama agama akan musnah dengan sendirinya manakala umat beragama bisa mentransformasikan religiusitasnya dari velleity ke value. Kiranya, bulan suci Ramadan yang baru memasuk etape awal ini bisa kita jadikan sebagai madrasah bagi religiositas kita. Layaknya madrasah, tentu akan ada ujian maupun evaluasi yang harus kita hadapi. Semoga, kita lulus dalam tiap ujian tersebut. Puncaknya, ketika Ramadan ini berakhir, kita dinyatakan lulus dan berhasil naik tingkat. Yakni menjadi manusia yang tidak sekedar menjadikan Islam sebagai identitas dan simbol kebanggaan. Namun, mengejawantahkan nilai dan ajaran Islam dalam laku kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga.

Facebook Comments