Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

- in Narasi
4
0
Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini hadir dalam bentuk yang semakin beragam. Ideologi sayap kanan, yang selama ini banyak dibahas di konteks global, mulai menemukan ruangnya melalui media sosial, game, dan forum-forum daring tempat remaja berinteraksi.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana sebagian anak mencari identitas dan pengakuan di ruang yang tidak dapat mereka temukan di lingkungan sehari-hari. Dalam proses itu, mereka bisa berpapasan dengan narasi yang mendorong rasa superioritas, polarisasi, dan pembenaran terhadap kekerasan.

Banyak anak dan remaja menghabiskan waktunya di platform gaming, kanal video, dan aplikasi percakapan. Di sinilah narasi ekstrem kadang muncul dalam bentuk yang tampak ringan, seperti meme, potongan video, candaan, bahkan role-play di game.

Ideologi sayap kanan memanfaatkan bentuk ekspresi ringan itu untuk membangun keterikatan. Anak yang sedang merasa tidak punya tempat, sedang mengalami tekanan sosial, atau baru saja menjadi korban bully cenderung lebih tertarik pada kelompok yang menawarkan solidaritas, walau solidaritas itu dibalut intoleransi. Radikalisasi jarang terjadi secara tiba-tiba. Ia dimulai dari paparan kecil yang berulang.

Untuk mencegah hal tersebut, maka perlu mengenali beberapa ciri-ciri berikut:

  1. Perubahan Sikap yang Mengerucut pada “Kami vs Mereka”

Anak yang sedang terpapar ideologi sayap kanan biasanya menunjukkan cara berpikir baru yang kaku. Mereka mulai menggunakan diksi seperti “pengkhianat”, “pendatang”, atau “kaum perusak” dalam percakapan sehari-hari. Sikap ini tumbuh cepat ketika mereka merasa sedang membela “kelompoknya”, meskipun kelompok itu hanya hasil interaksi digital yang semu.

Fenomena ini sering berawal dari ketidakpuasan pribadi, seperti perundungan atau perasaan tidak dihargai, lalu diarahkan oleh narasi intoleran yang memberi mereka “identitas baru” yang tampak kuat.

  1. Ketertarikan pada Simbolisme dan Estetika Kekerasan

Perubahan kecil ini sering luput, seperti wallpaper ponsel bergambar simbol militeristik, ilustrasi karakter yang identik dengan supremasi kelompok tertentu, hingga video pendek yang merayakan aksi balas dendam. Bagi generasi Alpha, visual adalah bahasa utama mereka; dan ketika visual itu sarat kekerasan, ideologi sering ikut menyusup.

Beberapa kasus di luar negeri memperlihatkan remaja yang memulai paparan mereka dari meme. Mereka menganggapnya lucu, edgy, atau “keren”, sebelum akhirnya menyerap pesan ideologisnya.

  1. Konsumsi Konten Digital yang Menyempit dan Semakin Tertutup

Algoritma bekerja seperti spiral. Begitu seorang remaja menyukai satu konten yang bermuatan intoleran, platform akan mengantarkan mereka ke konten lanjutan yang lebih ekstrem. Anak menjadi lebih sering menyendiri, memakai headset sepanjang hari, dan terlibat percakapan digital yang sulit dilacak.

Ketika pola ini berlangsung berbulan-bulan, mereka menjadi lebih percaya pada komunitas digital dibanding keluarga atau teman dekat.

  1. Retorika Kekerasan yang Dianggap Wajar

Paparan ideologi sayap kanan membuat kekerasan terdengar logis. Narasi seperti “harus dilawan”, “mereka memang musuh kita”, atau “kalau tidak keras, kita kalah” mulai muncul dalam percakapan. Anak menganggap kekerasan sebagai cara memperoleh penghargaan atau membuktikan diri.

Ini sangat berbahaya bila dipadukan dengan pengalaman pribadi berupa bullying. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat pola baru: korban perundungan generasi Alpha lebih cenderung melakukan aksi balas dendam ekstrem daripada melukai diri sendiri seperti generasi sebelumnya. Ideologi kekerasan hanya perlu memoles rasa sakit itu menjadi “misi”.

  1. Ketertarikan pada Narasi Anti-Empati

Salah satu tanda paling jelas adalah memudarnya empati. Anak tidak lagi merasa iba pada korban kekerasan dan mulai mengeluarkan komentar yang meremehkan penderitaan orang lain. Ketika nilai-nilai kemanusiaan tergeser oleh narasi kekuatan dan balas dendam, mereka menjadi sasaran empuk ideologi ekstrem.

6. Peran Sekolah dan Keluarga dalam Membaca Sinyal

Sekolah adalah ruang pertama tempat anak belajar memahami keberagaman. Guru bisa menangkap tanda-tanda awal melalui perubahan cara anak berinteraksi. Program literasi digital, diskusi terbuka tentang perbedaan, dan kegiatan kolaboratif dapat membantu anak melihat bahwa mereka tidak sendirian.

Di rumah, perhatian sederhana bisa membuat perbedaan besar. Anak yang merasa didengar akan lebih terbuka ketika sedang menghadapi tekanan sosial. Orang tua bisa mengajak mereka berdialog ringan tentang hal-hal yang mereka lihat di internet tanpa menghakimi.

Intervensi dini bukan hanya tentang mencegah ideologi ekstrem, tetapi memastikan anak memiliki lingkungan emosional yang aman.

Peran kita adalah memastikan mereka tidak merasa sendirian dalam proses tumbuh itu.

Facebook Comments