Da’i Perempuan dan Konstruksi Narasi Perdamaian di Panggung Dakwah

Da’i Perempuan dan Konstruksi Narasi Perdamaian di Panggung Dakwah

- in Narasi
37
0
Da'i Perempuan dan Konstruksi Narasi Perdamaian di Panggung Dakwah

Selain diramaikan oleh para penceramah atau dai laki-laki, panggung dakwah kita belakangan juga diramaikan oleh kemunculan para dai perempuan yang mencuri perhatian publik. Sebut saja di antaranya Mamah Dedeh, Ning Umi Laila, Ustazah Mumpuni, dan sejumlah nama lainnya.

Mamah Dedeh seperti kita tahu sudah populer terlebih dahulu, karena selama bertahun-tahun muncul di tv nasional setiap pagi. Sementara sejumlah nama dai perempuan lainnya belakangan kian populer karena penggalan videonya diunggah oleh netizen di berbagai media sosial terutama TikTok.

Penggalan video yang berhasil FYP itulah yang lantas menaikkan pamor para ustazah atau da’iah muda tersebut. Sebagian ustazah yang populer di medsos memang masih nisbi muda. Namun, kemampuan mereka membangun retorika ceramah keagamaan tampaknya sudah tidak perlu diragukan.

Selain gaya mereka yang khas dan kerap diselipi humor, pada dai perempuan tersebut juga mampu menghadirkan tema pembahasan yang relevan bagi para jemaah yang mayoritas juga perempuan. Mama Dedeh misalnya, di balik gayanya yang terkesan ceplas-ceplos dikenal sangat membela hak-hak perempuan.

Berkali-kali potongan videonya tentang hak perempuan viral di medsos bahkan dibagikan oleh para feminis yang dikenal kritis terhadap Islam. Demikian pula penceramah perempuan lain yang kurang lebih memiliki komitmen saja dalam memperjuangkan hak perempuan.

Selain komitmen terhadap hak perempuan, penting pula untuk melihat bagaimana para dai perempuan mengkonstruksikan gagasan perdamaian di panggung dakwahnya. Dalam konteks ini, para pendakwah perempuan memang masih terbagi ke dalam dua sikap. Ada sejumlah dai perempuan yang di panggung dakwah kerap melontarkan pernyataan yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung intoelransi dan radikalisme.

Namun, di sisi lain ada banyak pendakwah perempuan yang aktif menyebarkan pesan perdamaian dan anti kekerasan melalui panggung dakwah. Para dai perempuan yang aktif membangun narasi perdamaian di panggung dakwah inilah yang harus kita apresiasi. Mengapa hal ini penting?

Tersebab, bagi masyarakat Indonesia yang dikenal relijius, produksi pengetahuan atau wacana di panggung dakwah itu jauh lebih berdampak dan berpengaruh ketimbang produksi pengetahuan di ranah lain. Semisal di ruang akademik; sekolah, universitas dan sejenisnya.

Kita melihat sendiri bagaimana para tokoh agama atau pendakwah begitu sangat populer di tengah umat. Mereka laris diundang ceramah kesana-kemari, videonya viral di medsos, akun medsosnya memiliki jutaan pengikut, dan segala perilaku serta gaya hidupnya diikuti oleh umat atau jemaahnya.

Dai Perempuan dan Modal Sosial-Kultural Sebagai Agen Perdamaian

Beda halnya dengan kaum intelektual yang cenderung harus berjuang di jalur sunyi dan jauh dari ingar-bingar popularitas. Maka, tidak mengherankan jika masyarakat lebih mendengarkan ucapan atau nasihat penceramah atau pendakwah ketimbang ilmuwan, guru, dosen dan sebagainya. Di titik ini, penceramag agama apalagi yang tengah populer memiliki modal sosial dan kultural buruk membangun opini bahkan memobilisasi umat.

Otoritas yang dimiliki para dai, termasuk dai perempuan ini idealnya dimanfaatkan untuk hal yang positif. Salah satunya menyebarkan pesan perdamaian dan anti kekerasan melalui media dakwah. Mereka harus menjadi agen perdamaian yang menyebarkan pesan toleransi dan anti-radikalisme pada umat. Suara mereka hampir pasti akan lebih didengar olah umat atau jemaahnya.

Penting juga bagi pemerintahan untuk menggandeng para dai perempuan yang tengah viral ini untuk menjadi mitra dalam menghalau ideologi kebencian dan kekerasan. Mereka, para dai perempuan yang tengah ada di puncak popularitas itu merupakan elemen penting untuk mengkonstruksi narasi perdamaian melalui panggung dakwah.

Apalagi dalam konteks saat ini ketika panggung dakwah tengah didominasi oleh narasi pemindahan atau bahkan pengkafiran terhadap perilaku keagamaan yang bersinggungan dengan kearifan lokal.

Ada semacam gerakan yang secara sistematis diskenariokan untuk mengadu-domba umat dengan membenturkan Islam dengan kebudayaan lokal. Misalnya, pembid’ahan terhadap tradisi Idulfitri yang selama puluhan bahkan ratusan tahun dipraktikkan oleh muslim Nusantara.

Narasi itu mau tidak mau telah membuat umat terbelah ke dalam perang opini berkepanjangan. Kemunculan para dai perempuan dengan gayanya yang khas dan disukai umat kiranya bisa menjadi kekuatan antitesis yang menghalau arus deras rasialisme berkedok puritanisme agama tersebut.

Panggung dakwah memah telah menjadi semacam arena pertempuran ideologi dan wacana keagamaan. Bagaimana pun juga, kita tidak bisa menyangkal fakta itu. Melalui panggung dakwah, kaum konservatif radikal getol menyebarkan pesan keaagamaan berbalut kebencian dan permusuhan. Bahasa semua yang berbeda pandangan dengan mereka adalah bidah, sesat, dan kafir.

Kondisi itu tidak boleh dibiarkan. Baiknya popularitas para dai perempuan adalah momentum untuk membangun konstruksi narasi perdamaian melalui panggung dakwah, baik offline maupun online. Suara da’i perempuan yang mengobarkan pesan perdamaian dan anti-kekerasan akan mampu membendung arus ideologi kebencian dan kekerasan yang menjadi ancaman serius bagi bangsa dan negara.

Facebook Comments