Salah satu keistimewaan dakwah Islam di Indonesia adalah adanya dakwah pendekatan kultural. Para ulama zaman dulu berusaha meninggalkan metode dakwah surga-neraka, mukmin-kafir, halal-haram, dan hitam-putih. Dakwah dengan pendekatan politik, provokasi, apalagi ada ideologi tertentu yang dibawa –sangat dihindari. Khusus cara yang disebutkan terakhir malah akan menimbulkan konfrontasi dengan penguasa dan penduduk setempat.
Indonesia dengan ragam budaya, adat istiadat, dan tradisi, tentunya sangat cocok dan menjadi tempat subur untuk menggunakan pendekatan kultural. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah dakwah kultural –apalagi membawa embel-embel “moderasi di dalamnya –masih relevan di era di mana globalisasi, teknologi, dan media sosial sudah menjamur di mana-mana?
Memang tidak bisa dimungkiri lagi, bahwa teknologi dan media sosial, seperti YouTube, Facebook, Instagram lebih digemari oleh generasi milenial ketimbang media-media lainnya yang bersifat konvensional dan tradisional. Kondisi ini membuat sebagian kelompok lebih memilih berdakwah via media-media online yang digemari oleh generasi sekarang. Tentu berdakwah melalui media sosial selain tidak menguras tenaga ekstra, juga lebih cepat dan efisien, bahkan dalam satu sisi lebih bisa dinikmati oleh khalayak ramai.
Apakah benar dakwah on-line bisa menggantikan dakwah tatap muka? Pengakuan dari beberapa pihak, bahwa dakwah via on-line ternyata tidak bisa menggantikan posisi berdakwah dengan tata muka. Dakwah via online hanyalah sebatas pelengkap, bukan sebagai arus utama.
Urgensi Dakwah Kultural
Dalam konteks inilah, dakwah kultural harus perlu mendapat prioritas santri dalam berdakwah. Alasannya tidak lain, bahwa dakwah kultural sejak awal abad ke 12/13 masehi sudah membuktikan efektifitas dan keunggulannya dibandingkan dengan model dakwah lainnya.
Selain alasan fundamental di atas, dakwah kultural mempunyai kelebihan dibandingkan dengan model lainnya. Di antaranya, dakwah model ini lebih mengakomodir budaya, tradisi, dan adat istiadat daerah setempat.
Dengan cara mengakomodir, seorang bisa merasakan denyut nafas dari para audiensnya. Adanya harmonisasi antara dengan masyarakat akan melahirkan generasi yang damai, toleran, dan tidak suka berkonfrontasi dengan budaya dan tradisi daerah yang beda dengannya.
Selain itu, dai atau tokoh agama –dengan tetap memperhatikan budaya setempat –lebih memahami apa kebutuhan, kegelian, masalah yang dihadapi oleh warga setempat. Adanya dialog keagamaan dan budaya setempat, akan memudahkan jalan bagi para juru dakwah untuk menjalankan fungsinya sebagai perekayasa sosial.
Dalam dunia dakwah, ulama selain sebagai penyeru estafet ajaran Nabi, juga berfungsi sebagai alat kontrol, sekaligus mentransformasikan masyarakat menuju nilai-nilai universal –atau meminjam bahasa Cak Nur –menuju titik temu: kebersamaan, kesamaan, keadilan dan rasa kasih sayang.
Dalam konteks fungsinya sebagai penerus estafet ajaran Nabi, ada tiga pokok penting menurut Koentowijiyo yang harus dijadikan sebagai landasan, yakni: pembebasan, humanisasi, dan transendensi.
Maksud pembebasan di sini, memproyeksikan masyarakat ke arah yang lebih baik, tanpa tercerabut dari akar budayanya. Humanisme, semua orientasi dakwah kultural harus diproyeksikan menuju memanusiakan manusia. Terakhir transendensi, memaklumatkan bahwa pembebasan dan humanisme itu harus diarahkan kepada keimanan kepada Zat Transendental.
Menyuarakan Moderasi
Ulama atau juru dakwah mempunyai posisi starategis dalam mengampanyekan nilai-nilai moderasi. Nilai-nilai yang menghargai perbedaan, mencari titik tengah dan titik temu, mengedepankan persamaan ketimbang memperuncing perbedaan.
Dengan adanya dialog dengan budaya, nilai-nilai modarasi itu dengan mulus bisa dimasukkan ke hati para jamaah. Anak bangsa sebagai audiens tidak merasa terpaksa dan bahkan menganggap nilai-nilai moderasi itu adalah bagian dari agama sekaligus budaya.
Wujud konkrit yang dapat diberikan oleh terhadap upaya menyuarakan nilai-nilai moderasi bisa direalisasikan dalam beberapa dua bentuk utama, yaitu: pertama, menjauhi –kalau tidak bisa –setidaknya meminimalisir pembacaan yang tekstual.
Bukan rahasia umum lagi, bahwa salah satu bibit adanya aksi-aksis teror dan semacamnya, berangkat dari interpretasi terhadap teks kitab suci yang literal, tekstual, apa adanya. Penafsiran seperti ini, akan membuat wajah agama menjadi kaku, rigid, kolot, dan tidak bisa berdialog dan berdialektik dengan zamannya.
Tentu peran ulama, yang setiap hari berkutat dengan teks-teks kitab, apabila menjauhi pemaknaan yang literal akan memunculkan wajah Islam yang progresif. Wajah dakwah yang progresif dengan sendirinya akan menghilangkan wajah radikal dari agama itu sendiri.
Kedua, para ulama dan juru dakwah harus menghindari penyampai ajaran agama yang terlalu menyederhanakan. Islam memang agama yang sederhana, tapi bukan agama yang disederhanakan. Sederhana dan disederhanakan dua hal yang sagat jauh berbeda.
Penelitian terakhir menunjukkan –sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Nadirsyah Husen –sebab Islam radikal itu cepat berkembang dan diterima di masyarakat umum, salah satunya adalah mereka selalu menyederhanakan ajaran Islam itu. Tanpa memberikan pendapat yang berbeda dari ideologi mereka. Padahal dalam penafsiran terhadap agama itu mempunyai banyak ragam pendapat. Orang yang tidak terbiasa dengan pendapat yang berbeda, akan lebih mudah berpotensi radikal.
Ulama, dai, ustad sebagai subjek yang bersentuhan langsung dengan sumber-sumber otoritatif, bisa memberikan counterterhadap pihak-pihak seperti di atas dengan cara memberikan ragam perbedaan, dan mengajari masyarkat bahwa wajah Islam itu tidak monolitik dan terdapat keragaman di sana.
Pembiasaan terhadap keberagaman dengan sendirinya akan memberikan efek positif terhadap wajah Islam yang saling menghargai satu dengan lainnya. Sehingga potensi untuk memaksakan pendapatnya terhadap orang lain bisa diminimalisir. Kedua kunci ini bisa dengan mulus bisa dilaksankan jika cara-cara para wali songo dengan pendekatan budaya bisa dengan baik dijalakan. Sejarah sudah membuktikan, dakwah dengan basis budaya sangat ampuh dan efek tahan lama.