Dakwah Moderasi Milenial, Membendung Paham Radikal Lewat Dunia Digital

Dakwah Moderasi Milenial, Membendung Paham Radikal Lewat Dunia Digital

- in Narasi
1422
0
Dakwah Moderasi Milenial, Membendung Paham Radikal Lewat Dunia Digital

Kita dikejutkan dengan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri di Makassar dan aksi teror di Mabes Polri dilakukan oleh anak-anak muda. Anak yang mudah yang seharusnya menjadi generasi bangsa, justru masuk dalam kubangan aksi teror yang jauh kemanusiaan.

Milenial sebagai aktor terorisme di Indonesia bukan kali ini saja. Beberapa kasus teror di Indonesia pelakunya adalah anak-anak muda kelahiran sembilan puluhan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Sebagian kalangan menyatakan ini akibat dari penetrasi media sosial plus perkembangan dunia digital. Perkembangan teknologi-informasi membuat pola relasi masyarakat berubah.

Perubahan ini bisa dilihat dari sikap yang ditampilkan oleh generasi milenial yang seolah-olah menempatkan liyan di pojok nan jauh di sana. Relasi masyarakat yang berbasis kemanusiaan di satu sisi, dan teknologi yang berbasis skill di sisi yang lain, ikut memperluas jarak itu.

Hampir keseluruhan hidup milenial tidak jauh dari internet. Internet bagi kaum milenial hampir sudah cukup memenuhi kebutuhan mereka. Termasuk dalam hal ajaran agama.

Tidak jarang, ajaran agama yang diakses, justru jauh dari ajaran agama itu sendiri. Emosi yang masih bergejolak ditambah semangat yang masih belum stabil, mudah dimasuki oleh paham-paham radikal-ekstrem.

Sejumlah studi menunjukkan, anak muda dan kaum milenial adalah sasaran empuk kaum radikalis. Hanya bermodalkan video pendek, gambar provokatif, narasi anti-pemerintahan, dan opini pentingnya khilafah, kaum muda dengan gampang terseret ke arus radikalisme.

Membumikan Semangat Moderasi

Dalam konteks inilah penguatan Islam wasyatiah perlu dilakukan. Islam wasyatiah sebagai asas dalam beragama, pola laku dalam kehidupan bermasyarakat, serta basis dari relasi hubungan antar individu harus tetap dikawal di tengah-tengah penetrasi paham radikal-esktrim serta derasnya arus perkembangan teknologi dan gemerlap media sosial.

Secara garis besar, proses penguatan moderasi beragama bisa dilakukan dengan tiga cara: (1) kognitif-saintifik, (2) ekspresif-estetik, dan (3) praktis-moral.

Cara pertama merupakan amanat yang dilakukan oleh para intelektual negeri ini. Para intelektual sudah menghasilkan syarah, tafsir, dan komentar puluhan bahkan ratusan buku terhadap Islam sebagai jalan moderasi.

Cara kedua adalah amanat yang sudah dilaksanakan oleh para pendiri bangsa ini melalui laku mereka yang sesuai dengan nilai-nilai moderasi, begitu juga para pendakwah kita dulu sudah menjalankan dakwahnya sesuai dengan ajaran Islam yang rahmatan lilalamin.

Puncaknya adalah disepakatinya Pancasila sebagai jalan tengah umat beragama serta jalan tengah dalam berbangsa dan bernegara.

Tinggal cara kerja ketiga, inilah amanat untuk generasi millennial. Amanat untuk membumikan moderasi beragama di tangan para generasi millennial bisa dilakukan dengan berbagai cara. Gemerlap teknologi-informasi, juga perkembangan sosial media bisa dimanfaatkan oleh millenial.

Milenial sebagai generasi yang suka dengan hal-hal baru, spontanitas, ide-ide kreatif dan inovatif tentu mempunyai cara tersendiri untuk membumikan Pancasila. Melalui kerja-kerja Youtuber, Video, Vlog, dan akun media sosial, para milenial ini bisa memberikan sumbangsih besar dalam proses internalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai Islam wasyatiah dari dan kepada masyarakat umum.

Jika pemerintah dan kalangan akademik, melakukan kerja-kerja formal, seperti sosialisasi, seminar, workshop, bedah buku dan sejenisnya, maka kalangan milenial bisa melaksanakan amanat ini dengan cara-cara informal dan memenuhi media sosial dengan konten-konten edukasi sarat dengan nilai-nilai moderasi agama.

Digitaliasi Dakwah

Internalisasi nilai-nilai moderasi beragama melalui film pendek umpamanya, itu jauh lebih efektif ketimbang cara-cara konvensional. Amerika Serikat sudah membuktikan, bahwa mereka sukses mengampanyekan nilai-nilai liberalisme dan demokrasi melalui sarana film.

Bahasa visual –dalam konteks pembumian –jauh lebih efektif ketimbang bahasa verbal. Bahasa populer dan menghibur jauh lebih diminati khalayak umum ketimbang bahasa akademik yang baku dan kaku. Penguatan Islam wasyatiah di era sekarang dengan menggunakan sarana menghibur perlu digalalakkan.

Terkadang nilai, ide, dan gagasan yang bagus tidak bisa sampai ke masyarakat disebabkan cara-cara yang kaku dan baku, bahkan tak jarang dengan bahasa melangit yang susah dipahami masyarakat.

Penguatan moderasi beragama lewat seni dan musik juga bisa ditempuh oleh milenial. Musik sebagai bahasa universal –bahkan salah satu tanda kewarasan seseorang adalah kesukaannya terhadap musik –bisa dijadikan sebagai instrument untuk membumikan islam wasyatiah.

Kekuatan musik sebagai sarana, terletak bukan saja pada irama, not, dan sisi lagunya, tetapi juga pada rasa gairah, semangat, dan inspirasi yang diakibatkan olehnya. Kerja-kerja seperti ini sudah disadari oleh para seniman kita dulu. Sekarang generasi milenial perlu menciptakan lagu, musik yang sarat dengan pesan moral dan nilai-nilai moderasi agama kepada khalayak ramai.

Ketiga kerja di atas tentu tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ketiganya harus terintegrasi satu sama lain, dan saling mengisi. Dengan ini, moderasi beragama bukan saja dikenal oleh kalangan terdidik saja, tetapi juga sudah membumi kepada setiap lapis anak bangsa ini.

Akan tetapi, penekanan pada generasi millennial perlu dilakukan, mengingat era sekarang dengan segala gemerlap kemajuannya, kita butuh pada cara-cara kerja yang praktis dan mudah dipahami oleh masyarakat. Inilah saatnya, generasi millennial bangun, dan ambil bagian dalam amanat membumikan moderasi agama demi menghentikan penetrasi radikalisme dan ekstremisne dari bumi pertiwi ini.

Facebook Comments