Dalam beberapa tahun terakhir, agama telah menjadi salah satu komoditas politik paling laku. Dalam tiap kontestasi politik, sentimen keagamaan hadir sebagai alat untuk membangun opini, memobilisasi massa, dan mendulang suara. Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019 merupakan dua contoh paling vulgar bagaimana sentimen keagamaan dipakai untuk meraih kekuasaan.
Ada setidaknya empat faktor mengapa agama rentan dijadikan bahan jualan dalam politik. Pertama, agama bersifat likuid alias cair sehingga bisa ditarik ke wilayah mana saja, termasuk politik. Kedua, agama merupakan identitas paling sensitif. Identitas agama menjadi unsur yang menegaskan perbedaan antar-individu atau kelompok.
Ketiga, agama tidak hanya membentuk identitas, namun juga efektif untuk membangun opini dan memobilisasi massa. Keempat, ideologi agama terbilang paling murah dan mudah untuk dimainkan dalam percaturan politik dibanding ideologi lain.
Wujud Komodifikasi Agama di Ranah Politik
Praktik menjual agama di ranah politik ini mewujud ke dalam banyak fenomena. Antara lain, pertama, fenomena eksploitasi ayat-ayat keagamaan dengan tujuan menjatuhkan lawan politik. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 kita melihat sendiri bagaimana ayat-ayat Alquran dipelintir tafsirnya sesuka hati demi menyerang lawan politik.
Kedua, mengeksploitasi ajaran serta simbol agama sebagai bahan pencitraan politik untuk mendulang simpati massa. Kita bisa melihat sendiri bagamana sejumlah politisi mendadak relijius dan adaptif pada simbol keagamaan ketika menjelang pesta demokrasi.
Ketiga, menjadikan lembaga keagamaan dan para tokoh agama sebagai lokomotif politik. Fenomena ini bisa kita lihat dari sejumlah ormas keagamaan atau tokoh agama yang secara aktif menjadikan mimbar keagamaan dan panggung dakwah sebagai sarana agitasi politik.
Praktik menjual (komodifikasi) agama ini melahirkan sejumlah residu. Dari sisi agama, hal itu akan menggerus nilai spiritualitas dan humanitas agama. Esensi agama yang suci lantas terdegradasi dan berakhir menjadi sesuatu yang banal alias dangkal. Ketika agama dijadikan alat politik, maka ia akan kehilangan esensinya sebagai sumber etika dan moralitas.
Sedangkan dari sisi politik, komodifikasi agama akan berdampak pada munculnya tensi politik yang berkepanjangan. Eksploitasi agama di ranah politik harus dibayar mahal dengan retaknya relasi sosial di tengah masyarakat. Seperti kita lihat saat ini, masyarakat terpolarisasi dan hidup dalam nuansa saling curiga dan benci karena perbedaan afiliasi politik.
Pandangan Islam tentang Komodifikasi Agama
Islam secara tegas melarang praktik komodifikasi agama, baik itu di ranah ekonomi maupun politik. Di dalam Alquran, ada beberapa ayat yang memperingatkan manusia agar tidak menjual agama demi kepentingan apa pun. Antara lain, Surat al Baqarah ayat 41, yaitu wa la tasytaru bi ayati tsamanan qalilan wa iyya ya fattaqun. Arti ayat tersebut ialah “janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa”.
Juga pada Surat al Hadid ayat 20 yakni “I’lamu innamal hayatud dunya la’ibun walahwun wa zinatun wa tafakhurun bainakum wa takatsurun fil amwali wal awladi. Kamatsali ghoitsin a’jabal kuffaro nabatuhu tsumma yahiju fatarahu musfarran tsumma yakunu khutoman. Wa fil akhiroti ‘adzabun syadidun wa maghfirotun minallah wa ridlwanun. Wa mal hayatud dunya illa mata’ul ghurur”.
Makna dari ayat tersebut ialah “ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur, dan diakhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”.
Ayat Alquran di atas kiranya bisa menjadi dalil larangan menjual agama untuk kepentingan politik. Di dalam Islam, agama adalah wilayah sakral alias suci. Sedangkan politik merupakan wilayah profane yang melibatkan hubungan antar-manusia. Dalam konteks Islam, politik bukanlah hal yang haram, alih-alih mubah.
Islam memberikan ruang bagi manusia untuk berpolitik dan melaksanakan suksesi kekuasaan dengan jalan yang bermartabat dan beretika. Bukan dengan cara menggadikan ayat keagamaan, ajaran, dan simbol-simbol Islam untuk meraih tampuk kekuasaan.