Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

- in Narasi
4
0
Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

Di zaman ketika jari lebih cepat dari nalar, bangsa ini menghadapi ujian yang lebih berbahaya dari sekadar kesesatan informasi. Inilah juga yang mengancam anak-anak kita, yang mana mereka notabene lekat dengan internet dan media sosial (medsos). Narasi kebencian, teori konspirasi, dan ideologi radikal kini hadir dalam format yang estetik, menghibur, dan seolah membawa pesan keagamaan serta menarik bagi anak. Inilah wajah baru radikalisasi digital di era AI. Ia adalah racun manis yang menyusup lewat algoritma, menggiring anak-anak kita pada jalan yang salah.

Berbeda dengan radikalisme konvensional yang mudah dikenali karena ekstremitasnya mencolok, terorisme digital bekerja dengan cara lebih halus. Ia memanfaatkan bahasa agamis, gaya komunikatif, dan diksi yang menggugah emosi. Di balik narasi amar ma’ruf nahi munkar, tersembunyi agenda yang mengikis moderasi, menanamkan intoleransi, dan merongrong keutuhan bangsa.

Anak-anak sebagai generasi digital native yang hidup dalam arus konten tanpa batas, menjadi sasaran utama. Survei Maarif Institute dan CSRC UIN Jakarta (2024) menunjukkan bahwa 34 persen anak-anak muslim Indonesia pernah terpapar konten keagamaan bernuansa intoleran. Mereka menyerap bukan hanya karena setuju, melainkan karena kontennya dikemas kreatif, relevan dengan keseharian, dan disebar masif melalui YouTube, TikTok, hingga status WhatsApp.

Lebih berbahaya lagi, konten semacam ini bersinergi dengan hoaks yang mengangkat isu agama, politik, dan sosial. Data Mastel menyebutkan bahwa hoaks sosial-politik dan SARA mendominasi lebih dari 90 persen dari total hoaks yang beredar di Indonesia. Kolaborasi antara hoaks dan propaganda radikal ini membentuk arus informasi yang menggiringanak-anak pada satu arah: radikalisasi berbasis digital.

Mereka yang awalnya hanya ingin “mendalami agama” perlahan merasa paling benar, menyalahkan kelompok lain, hingga menganggap negara ini sarang kemungkaran yang harus diperangi. Semua itu tidak terjadi di medan latihan, tetapi melalui video satu menit yang dikomentari ribuan akun. Inilah wajah mutakhir radikalisme, radikalisme digital berbasis AI.

Penyebaran narasi ini tidak hanya datang dari aktor bawah tanah, tetapi juga dari figur publik yang memiliki pengikut besar. Dengan memotong ayat atau hadis dari konteksnya, mereka membangun pseudo-religiusitas yang merusak esensi agama sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Lantas, bagaimana melindungi anak-anak, generasi bangsa dari ancaman ini? Pertama, Tanamkan Adab Literasi Digital. Anak-anak perlu diajarkan bahwa kebenaran tidak selalu ada pada yang viral. Dalam Islam, mencari kebenaran adalah jihad akal. Hoaks adalah kebohongan, dan Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kejujuran membawa pada kebaikan, sementara kebohongan mengantar pada kehancuran.

Kedua, Hadirkan Konten Tandingan yang Mencerahkan. Kita butuh lebih banyak influencer damai, pendakwah moderat, dan komunitas literasi digital yang mengajak dengan cinta, bukan sekadar meng-counter. Mafindo, Kominfo, dan gerakan Siberkreasi telah memulai; kini saatnya diperluas bersama masyarakat sipil.

Ketiga, Bangun Komunitas Kritis dan Ruang Dialog. Forum diskusi, gerakan anti-hoaks, kelas literasi media, dan ruang dialog antariman harus diperkuat. Anak muda yang terbiasa berpikir terbuka tidak mudah digiring narasi benci, apalagi diseret ke ideologi kekerasan.

Masa depan Indonesia sangat bergantung pada kejernihan nalar dan keluhuran budi generasi mudanya. Jangan biarkan layar ponsel menjadi pintu masuk racun ideologi. Saatnya membangun barisan digital damai, melawan hoaks dengan ilmu, radikalisme dengan welas asih, dan terorisme digital dengan dakwah yang mencerahkan. Anak-anak tidak membutuhkan pahlawan yang marah-marah di layar kaca. Mereka butuh teladan yang berpikir jernih, bersuara damai, dan membawa harapan.

Facebook Comments