Salah satu fase atau bagian paling menarik dalam keseluruhan kisah hidup Rasulullah adalah sepak terjang politiknya. Sisi kehidupan politik Rasulullah barangkali adalah yang paling sering dibahas, sekaligus juga paling sering disalahpahami.
Misalnya saja, kisah Rasulullah menaklukkan sejumlah wilayah di Jazirah Arab dan sekitarnya kerap kali dipahami sebagai misi kolonialisme alias penaklukan wilayah. Padahal, sejatinya itu murni urusan dakwah. Lagipula, kekerasan dan peperangan itu hanyalah opsi terakhir ketika opsi damai dan diplomasi telah tertutup semua.
Selain itu, kota Madinah yang didirikannya kerap disalahpahami dan ditafsirkan sebagai negara Islam yang menegakkan syariah atau bahkan kerap diklaim sebagai cikal-bakal khilafah. Padahal, Madinah tidak desain sebagai daulah islamiyyah apalagi khilafah islamiyyah. Sebaliknya, Madinah lebih cocok dikategorikan sebagai darul mitsaq alias negara kesepakatan.
Madinah bisa dikatakan sebagai darul mitsaq karena sejumlah indikasi. Pertama, penduduk Madinah terdiri atas berbagai macam latar belakang agama dan kesukuan. Ada muslim asal Mekkah, pribumi Madinah beragama Yahudi, maupun imigran Kristen asal luar Madinah. Ini membuktikan bahwa Madinah adalah komunitas heterogen.
Kedua, Madinah dibangun di atas fondasi perjanjian yang kita kenal sebagai Piagam Madinah. Dokumen Piagam Madinah ini bukan deklarasi kemerdekaan, namun lebih menyerupai deklarasi kesepakatan bersama yang mengikat kelompok-kelompok yang tinggal di dalamnya. Piagam Madinah merupakan konsensus bersama antar-berbagai entitas kelompok agama dan suku yang berbeda.
Ketiga, Madinah bukan negara formal yang memiliki struktur kelembagaan layaknya sebuah negara modern seperti dibayangkan oleh para pengusung khilafah. Madinah lebih menyerupai komunitas besar yang informal, namun mampu menjalankan kehidupan yang harmonis dan toleran.
Gagasan besar tentang Darul Mitsaq inilah yang diadaptasi oleh para pendiri bangsa ketika mendirikan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka dari penjajah, para pendiri bangsa sempat berselisih paham ihwal bentuk dan sistem negara yang akan diterapkan di negara yang baru berdiri tersebut. Kaum sekuler menghendaki Indonesia menjadi negara yang memisahkan urusan agama dan negara. Sedangkan kaum islamis memperjuangkan berdirinya negara Islam.
Di tengah silang sengketa pendapat itulah, muncul gagasan tentang nation state alias negara bangsa. Bentuk negara yang menjadi jalan tengah antara sekulerisme dan teokratisme. Negara bangsa adalah negara yang mengakui perbedaan agama dan budaya dan mendasarkan sistem hukumnya bukan pada ajaran agama, namun pada konstitusi yang disepakati bersama.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berladaskan pada Pancasila dan UUD 1945 bisa dikatakan mirip negara kota Madinah yakni darul mitsaq alias negara perjanjian/kesepakatan. NKRI menjadi jalan tengah dari gagasan negara Islam dan negara sekuler. Darul Mitsaq ini merupakan warisan alias legasi Rasulullah yang diadaptasi ke Nusantara oleh para pendiri bangsa. Di dalamnya tentu ada sejumlah ulama besar.
Merawat NRKI Sebagai Sunnah Rasul
Ironisnya, belakangan ini NKRI sebagai darul mitsaq ini mendapatkan banyak gugatan, terutama dari kalangan konservatif-radikal. Kelompok ini menebar perspektif negatif bahwa NKRI, Pancasila, dan UUD 1945 bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, tanpa segan mereka melabelinya dengan sebutan kufur atau thaghut.
Labelisasi NKRI dengan istilah kufur dan thaghut ini dilakukan oleh kelompok konservatif-radikal untuk mendelegitimasi otoritas pemerintahan yang sah. Agenda tersembunyi mereka adalah mengadu-domba bangsa dari dalam untuk kemudian menciptakan api konflik. Tujuannya tentu saja ingin merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw idealnya bisa dijadikan momentum untuk meneruskan warisan Rasulullah tentang darul mitsaq. Komunitas Madinah sebagai entitas sosial-politik yang heterogen merupakan warisan terpenting Rasulullah yang idealnya diadaptasi oleh seluruh umat muslim di segala zaman.
Jika kita memahami Rasulullah sebagai sosok pemimpin spiritual sekaligus sosial, maka warisan terbesarnya bukanlah hal-hal simbolik seperti tradisi memanjangkan jenggot, memakai celana di atas mata kaki, dan sejenisnya. Warisan terbesar Rasulullah adalah konsep darul mitsaq alias negara perjanjian yang diwujudka di Madinah.
Maka, meneladani Rasulullah di era kekinian, khususnya bagi umat Islam di Indonesia adalah dengan menjaga eksistensi NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Menjaga ketahanan negara terutama dari infiltrasi paham radikal-ekstrem adalah sunnah rasul yang lebih utama ketimbang hal-hal simbolik seperti jenggot, celana cingkrang, dan sejenisnya.
NKRI sebagai darul mitsaq harus kita pertahankan. Hal itu adalah bentuk komitmen kita merawat warisan Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad tahun ini kiranya momentum memperkuat kesadaran umat untuk menjaga NKRI terutama dari ancaman ekstremisme berbalut isu keagamaan.