Dendam dan Siklus Teror Santoso

Dendam dan Siklus Teror Santoso

- in Editorial
2610
0

Terlepas dari ilusi besar yang mereka gaungkan tentang pendirian khilafah Islamiyah, terorisme di Indonesia pada satu dekade akhir lebih banyak diwarnai aksi berlatar balas dendam. Balas dendam terutama ditumpahkan kelompok teror kepada aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Cita-cita politik mereka seakan menjadi kerdil yang nampak adalah kekalapan dan aksi brutal untuk melancarkan balas dendam.

Kelompok teroris Indonesia Timur yang mengklaim nama Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Santoso yang telah tewas di tangan Satgas Tinombola baru-baru ini merupakan kelompok teror yang sepenuhnya dididik untuk perang atas nama dendam kesumat. Pada mulanya tidak ada cita-cita politik besar yang seperti mereka gaungkan tentang khifalah. Santoso tidak lain hanyalah korban dari gabungan pemahaman keagamaan yang teramat dangkal dengan sisa dendam konflik Poso.

Latar belakang dendam dan pemahaman keagamaan yang dangkal membuat kelompok Santoso tumbuh subur melebarkan dendamnya tidak hanya komunitas agama Kristen tetapi kepada Aparat Kepolisian. Dendam ini kemudian menjadi ideologi tunggal yang ia tanamkan kepada para pengikutnya yang tentu saja memiliki pemahaman keagamaan dangkal dan mudah terhasut. Para pengikutnya pun tidak sadar bahwa mereka bagian dari pembela dendam dan memuja Santoso sebagai Amir dan kelak jadi Syahid.

Atas nama balas dendam, sejak tahun 2012 atas nama pimpinan MIT Timur Santoso telah menyatakan perang. Perang antara kelompok Santoso dan Aparat kepolisian terus berlanjut yang tidak hanya merugikan kedua belah pihak, tetapi masyarakat di kawasan tersebut. Banyak cerita dari masyarakat pedesaan di wilayah tersebut yang kerap mendapatkan intimidasi dari kelompok ini.

Momentum lahirnya ISIS pada tahun 2014 menemukan tempat bagi kelompok Santoso untuk melabuhkan dendamnya atas nama agama. Kelompok Santoso seakan menemukan justifikasi perjuangannya yang selama ini hanya luapan dendam. Karenanya Santoso sangat bergembira mendeklarasikan dirinya walaupun kalau dicermati dalam membaca bai’at tersebut Santoso kelihatan sama sekali tidak fasih secara keagamaan. Ya, karena Santoso bukan Ideolog dan hanya anak korban konflik yang minim pengetahuan keagamaan.

Akhir cerita pahit dari sang Pendendam, Santoso, berujung di tangan Satgas Tinombala yang telah berhasil meringkus dan menewaskannya. Apakah ini akhir dari kisah dendam dan kekerasan di Poso? Tentu saja kita sangat mengharapkan ini bagian penutup kekerasan dan lembaran baru bagi Poso yang damai. Masyarakat Poso telah lama mendambakan kondisi damai tersebut.

Namun, bagi sebagian kecil pengikutnya yang memiliki kedangkalan pemahaman keagamaan selevel Santoso bisa jadi kematian Santoso adalah transfer dendam baru. Santoso akan menjadi ikon yang dielu-elukan syahid sebagai drama lama yang selalu digemborkan kelompok teror. Mungkin ada narasi Santoso tersenyum manis bersama bidadari sebagai propaganda menutup akal sehat keagamaan kita.

Karena itulah, masyarakat sudah sepatutnya mempunyai kedewasaan tinggi terhadap peristiwa Poso. Masyarakat Poso telah bersuka ria ingin membuka lembaran baru. Dendam Santoso harus segera diputus dengan merekatkan solidaritas dan kerukunan bersama. Para pengikut Santoso harus dirangkul dan dimaafkan. Mereka hanyalah korban dari rasa dendam pribadi Santoso yang dibungkus dengan pemahaman keagamaan yang dangkal.

Facebook Comments