Disorientasi Ajaran Pemantik Konflik Antar Komunitas Keagamaan di Indonesia

Disorientasi Ajaran Pemantik Konflik Antar Komunitas Keagamaan di Indonesia

- in Narasi
56
0
Disorientasi Ajaran Pemantik Konflik Antar Komunitas Keagamaan di Indonesia

Kerukunan antar komunitas keagamaan bisa rusak manakala keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluk seseorang diusik, dicemooh atau dihina. Kata kuncinya disini. Hal ini karena setiap pemeluk agama, apa pun agamanya, memiliki keyakinan tinggi atas kebenaran agama yang dipeluknya. Karenanya, apabila ingin menciptakan kerukunan antar umat beragama, jangan sekali-kali menghina atau mendiskreditkan keyakinan orang lain.

Sikap seperti ini penting dikedepankan mengingat perbedaan agama dan keyakinan adalah “takdir alam” yang tak bisa ditolak, apalagi dinegasikan atas nama satu ajaran agama paling benar. Tuhan, sebagai pemilik kuasa atas manusia telah mewanti-wanti “manusia tidak bisa dipersatukan dalam satu agama dan keyakinan”.

Dalam agama Islam, kehendak Tuhan tersebut terekam abadi dalam kitab suci al Qur’an (QS. Yunus: 99). Meyakini kebenaran agama yang dianut suatu keharusan. Demikian pula, meyakini agama lain salah, juga keharusan sebagai manifestasi dari keimanan. Tetapi, tidak boleh dan tidak layak menghina, seperti mengatakan sesat.

Dalam rangka itu semua, setiap agama mengajarkan toleransi kepada umatnya dan kesadaran akan pluralisme. Keduanya menjadi ajaran sentral dari setiap agama dalam upaya menciptakan kehidupan beragama yang harmonis. Toleransi dan kesadaran pluralisme tidak bermaksud menyamakan semua agama, namun sebatas menghormati pilihan agama dan keyakinan orang lain.

Sayangnya, banyak kalangan, terutama tokoh dan ahli agama yang menyangka pluralisme sama dengan sinkretisme atau menyamaratakan dan mencampuradukkan semua agama. Prasangka demikian menjadi pemantik timbulnya ketegangan sebab menyuburkan penilaian salah dan sesat sehingga harus diberantas. Seperti telah maklum, kekacauan antar komunitas umat beragama seringkali muncul karena sikap intoleran.

Sikap seperti itu sejatinya timbul akibat dari disorientasi pemahaman ajaran agama dan memunculkan konservatisme. Pergeseran pemahaman keagamaan dari yang semestinya tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain oleh distorsi opini publik melalui media yang menyajikan informasi keagamaan secara parsial, namun dibuat seolah-olah ajaran yang benar sehingga masyarakat terpengaruh.

Publik menyangka sebagai sebuah praktik kesalehan beragama yang benar, padahal sangat kontradiktif dengan nilai-nilai dan norma agama yang semestinya. Untuk itu, diperlukan informasi keagamaan yang valid untuk menghindari adanya disorientasi ajaran agama. Disorientasi, begitu pula distorsi pemahaman keagamaan beririsan erat dengan konservatisme, seperti merebaknya radikalisme yang selama ini sering terjadi.

Trik Jitu Cegah Konflik Antar Komunitas Keagamaan di Indonesia

Pertama, tidak mudah percaya tehadap informasi yang beredar, baik di berita sosial maupun di media sosial. Teknologi informasi yang ada saat ini tidak hanya berfungsi untuk penyebaran informasi, melainkan sebagai pesan itu sendiri. Melalui teknologi informasi yang sangat canggih saat ini, informasi bisa dikemas dengan cara yang menarik dan memikat sehingga pembaca atau pendengar bisa terhanyut di dalamnya.

Potensi adu domba sangat mungkin dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang tidak ingin negara ini damai. Melalui teknologi mutakhir seperti kecerdasan buatan (AI) informasi palsu bisa dikemas sedemikian mirip persis aslinya. Hal ini memungkinkan dimanfaatkan untuk suatu kepentingan jahat, seperti adu domba antar komunitas beragama dengan dalih jihad, kafir dan sebagainya.

Kemudahan memalsukan pesan dalam arus informasi digital saat ini harus menjadi perhatian serius. Sebab telah maklum, mayoritas penduduk Indonesia, dari kelompok muda sampai dewasa kesemuanya dengan mudah mencari informasi atau mendapatkan informasi dengan berselancar di dunia maya. Kemungkinan disesatkan oleh informasi yang tidak bertanggungjawab sangat rentan dan terjadinya disorientasi sangatlah mungkin.

Kedua, sebelum dan pada saat berlangsungnya pesta demokrasi masyarakat hendaklah menyadari arti penting menelaah informasi yang dikonsumsi supaya tidak kehilangan tingkat refleksi dan kedalaman atas informasi yang diserap di tengah derasnya informasi yang diserap dalam suasana panasnya suhu politik.

Fenomena keterbelahan masyarakat ke dalam kutub-kutub pendukung dan lawan politik menjadi pengalaman berharga. Semisal kerentanan terjadinya politik aliran yang berimbas pada kotak-kotak masyarakat berdasarkan agama, dan seterusnya. Situasi tersebut seringkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu dengan menyebarkan informasi-informasi bohong (hoaks), terutama di media sosial.

Dalam momentum politik seperti Pilpres dan Pilkada artikulasi hoaks menjadi massif. Ditambah kondisi masyarakat yang berpihak pada kelompok yang disukainya saja. Interaksi masyarakat berlangsung dengan penuh kecurigaan karena berbeda pandangan dan pilihan politiknya. Situasi yang sangat mudah dimanfaatkan untuk saling membenturkan.

Ketiga, ini yang paling penting, adalah membangun silaturahmi antar umat beragama serta memperkuat pemahaman terhadap ajaran agama masing-masing agar tidak mudah diakali pemahaman yang sesungguhnya “tipuan berkedok agama”.

Selain itu, tokoh-tokoh agama harus menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila mesti dipraktikkan menjadi nilai dasar dalam interaksi dan pergaulan sesama anak bangsa sekalipun beda agama. Kita semua harus memiliki prinsip yang sama, bahwa manusia sebagai orang beragama adalah untuk kebaikan dan kebahagiaan. Dan, tidak bisa disebut sebagai orang yang beragama apabila melakukan aktifitas destruktif yang merugikan banyak orang, apalagi merugikan bangsa.

Facebook Comments