Regenerasi Sel Teroris; Mengapa Gen Z Menjadi Target Rekrutmen?

Regenerasi Sel Teroris; Mengapa Gen Z Menjadi Target Rekrutmen?

- in Narasi
57
0
Regenerasi Sel Teroris; Mengapa Gen Z Menjadi Target Rekrutmen?

Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-Teror Polri kembali membekuk tersangka teroris. Rabu malam (31 Juli 2024), tiga tersangka teroris dibekuk di Vila Syariah, Bunga Tanjung, Dusun Njeding, Desa Junrejo, Kecamatan Junrejo, Batu, Malang.

Dalam penangkapan itu, ditemukan bahan peledak high explosive dan alat-alat yang biasa digunakan untuk merakit bom. Aparat menyebut bahwa ketiga teroris yang dibekuk itu berencana melakukan serangan teror bom bunuh diri menyasar dua rumah ibadah di Malang.

Satu dari ketiga tersangka teroris itu masih berusia 19 tahun. Umur yang masih sangat muda, atau kita kenal hari ini sebagai generasi Z. Usia yang seharusnya diisi dengan hal-hal positif, namun justru terjebak dalam gerakan ekstremisme bahkan terorisme.

Saya memilih diksi terjebak, karena mayoritas generasi Z yang bergabung dengan kelompok ekstremis, itu awalnya tidak sengaja atau dengan sadar bergabung dengan gerakan teroris. Mereka dijebak oleh jaringan teroris dengan iming-iming surga, 72 bidadari, dan sejenisnya. Itulah mengapa pelaku bom bunuh diri mayoritas laki-laki. Karena, paradigma male supremacy pun masih sangat kental dalam gerakan terorisme.

Lantas, mengapa gen Z rawan terjebak gerakan terorisme. Ada setidaknya dua sudut pandang untuk membaca fenomena ini. Pertama, kepentingan teroris dalam melakukan regenerasi mengharuskan mereka merekrut anggota baru dari kalangan anak muda. Generasi Z (lahir 2004-2012), adalah sasaran utama tersebab mereka ada dalam fase yang bisa dikatakan “ideal”.

Dalam artian bahwa mereka bukan lagi remaja atau anak-anak, namun juga belum sepenuhnya dewasa, apalagi tua. Secara psikologis, mereka ada dalam fase peneguhan eksistensi diri, termasuk dalam beragama. Di fase ini, seseorang bisa ikatkan tengah ada dalam puncak idealisme kaum mudanya sehingga mudah dibangkitkan spirit revolusionernya dengan berbagai iming-iming atau janji-janji.

Self-Radicalization di Kalangan Generasi Z

Dalam konteks terorisme, gen Z umumnya terpikat dengan narasi kejayaan Islam, kekalahan kafir Barat, dan narasi sejenisnya yang kerap dipakai kelompok ekstrem untuk memikat calon anggota baru. Selain itu, janji surga lengkap dengan 72 bidadari juga kerap membuat generasi Z, utamanya yang datang dari kelompok bawah (miskin dan tidak berpendidikan tinggi) mau menjadi aktor bom bunuh diri.

Gen Z kelas bawah yang gagal mendapat akses ke pendidikan dan sumber ekonomi itu menjadikan terorisme sebagai semacam eskapisme alias pelarian dari kegagalannya mendapat penghidupan yang diimpikan.

Kedua, mekanisme radikalisasi di kalangan generasi Z ini cenderung lebih mudah ketimbang ke orang tua atau anak-anak dan remaja. Mengapa? Karena, generasi Z umumnya punya otonomi atas akses pada gawai canggih dan media sosial. Padahal, seperti kita tahu, media sosial adalah sarana paling efektif yang belakangan menjadi alat propaganda kelompok ekstremis.

Kasus penangkapan teroris di Batu membuktikan asumsi ini. Tersangka berinisial HOK, yang baru berusia 19 tahun ini mendapatkan skill merakit bom dengan belajar di media sosial. Inilah yang disebut sebagai self-radicalization alias radikalisasi diri yang terjadi secara alamiah karena individu entah sengaja atau tidak mengakses konten alias materi rasikalisme ekstremisme melalui kanal medsos.

Self radicalization ini bisa dikatakan sebagai fase baru rekrutmen teroris yang sulit diidentifikasi dan dideteksi. Individu yang mengalami self-radicalization umumnya tampak biasa saja, tidak terlihat seperti seseorang yang bergabung dengan organisasi radikal. Namun, diam-diam mereka mengalami perubahan cara pandang keagamaan. Puncaknya, meraka akan menginisiasi tindakan teror atau kekerasan.

Penangkapan teroris gen Z di Batu adalah alarm warning bagi kita semua. Tempo hari, kita merasakan euforia ketika Jamaah Islamiyyah membubarkan diri. Sebagian dari kita optimis, bahwa bubarnya JI adalah akhir dari terorisme. Nyatanya euforia itu berakhir anti klimaks. Tidak berselang lama, aparat justru membekuk teroris yang sudah siap melaksanakan amaliyah. Lengkap dengan bahan bom berdaya ledak tinggi.

Fakta lainnya, tersangka merupakan simpatisan Daulah Islamiyyah, organisasi teroris yang nisbi sangat jarang terdengar di tengah publik. Ini menandakan bahwa di lapangan, sel teroris itu terus bermetamorfosa ke dalam banyak nama. Namun, agenda mereka tetap sama; menebar teror dan ancaman untuk menimbulkan ketakutan dan kecemasan publik.

Mekanisme Deteksi Dini Berbasis Keluarga dan Lingkungan

Kita patut mengapresiasi langkah sigap aparat Densus 88 yang jeli mengendus manuver teroris. Namun, kita tidak perlu merasa takut, panik, atau cemas berlebihan dengan penangkapan teroris tersebut. Yang wajib kita lakukan adalah meningkatkan kewaspadaan dini untuk mendeteksi sekaligus mencegah penyebaran ideologi radikal ekstrem di lingkungan kita.

Orang tua wajib memantau aktivitas anak-anak mereka di media sosial. Akses anak pada media digital tidak lantas membuat orang tua abai pada peran pengasuhan. Jangan sampai, gen Z terjebak pada fenomena self-radicalization.

Selanjutnya, gerakan kolektif warga seperti RT atau RW juga perlu mengintensifkan pengawasan untuk mendeteksi gejala atau indikasi terorisme di lingkungannya. Ekosistem sosial yang sehat adalah benteng utama menangkal ideologi anti kebangsaan. Masyarakat yang komunal, biasanya memiliki imunitas terhadap paparan virus radikalisme terorisme.

Facebook Comments