Dokter Sutomo dan Akar Kebangkitan Kaum Muda Bangsa

Dokter Sutomo dan Akar Kebangkitan Kaum Muda Bangsa

- in Narasi
2497
0

“Berhasil dan tidaknya usaha ini hanya bergantung pada kesungguhan hati kita, bergantung pada kesanggupan kita bekerja. Saya yakin bahwa nasib tanah air di masa depan terletak di tangan kita” (Dokter Sutomo, 1908)

Kalimat itu diucapkan Dokter Sutomo pada Minggu, 20 Mei 1908, di hadapan para anak muda / mahasiswa yang masih belajar di STOVIA Jakarta. Dokter Sutomo kalau bicara biasa-biasa saja, tetapi ketika menyangkut nasib bangsanya, ia tampil dengan sepenuh kekuatan, ia kobarkan patriotisme dan nasionalisme kepada para mahasiswa. Ia gugah anak muda agar merelakan dirinya sebagai tulang punggung Tanah Air di masa depan.

Karena begitu gigihnya orasi Dokter Sutomo, saat itu juga, lahirlah organisasi Budi Utomo. Tujuannya adalah memajukan pengajarn; memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan; memajukan teknik dan industri; dan menghidupkan kembali kebudayaan. 20 Mei kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Inspirasi berdirinya Budi Utomo tak bisa dilepaskan dari peran dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang nasionalis, yang selalu keliling di berbagai daerah untuk mengkampanyekan gagasannya mengenai bantuan dana bagi pelajar pribumi yang tidak mampu. Etos inilah yang kemudian menggerakkan Dokter Sutomo untuk mengajak kaum muda tampil di garda terdepan dalam memperjuangkan nasib tanah air. Dokter Sutomo juga sangat gelisah dengan nasib bangsa, karena cengkeraman penjajah bisa mematikan jiwa kebangkitan kaum muda.

Dengan organisasi Budi Utomo, Dokter Sutomo kemudian bergerak membangun jejaring kaum muda dan menggerakkan etos nasionalisme bagi semua kalangan, khususnya kaum muda, untuk memastikan masa depan tanah air yang merdeka dan berdaulat. Dokter Sutomo selalu mengajak semua anak muda bergadung dengan Budi Utomo, karena baginya, anak muda akan menjadi energi besar lahirnya peradaban Indonesia yang bebas dari candu penjajah.

Walaupun Dokter Sutomo tidak bisa menikmati kemerdekaan, karena wafat 3 Mei 1938, tetapi etos pergerakan dan perjuangannya dalam menggugah semangat kaum muda menjadi tonggak lahirnya gerakan kaum muda dalam menegakkan NKRI.

Akar Kebangkitan Kaum Muda

Gerak kebangkitan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kaum muda. Hampir semua jejak sejarah kebangkitan bangsa, anak muda selalu menjadi sejarah utamanya. Ada akar utama yang mendasari anak muda Indonesia bisa begitu kuat gemuruhnya ketika bangkit melawan penjajah saat itu. Menurut Dokter Sutomo, akar itu adalah ikatan kuat antar personal yang lahir dari pesantren. Pesantren itu adalah perguruan asli milik bangsa ini. Dari pesantren mengalir mata air ilmu bagi seluruh bangsa, dari pesantren karakter lahir dan batin bangsa (melalui para santri) dibangun para kiai siang dan malam, dan di pesantren kecenderungan pada persatuan dan kesatuan bangsa serta jiwa merdeka ditempa dalam kebersamaaan.

Dalam hal ini, Dokter Sutomo mengatakan:

Pada zaman nenek saya, yaitu kira-kira pertengahan abad ke-19, pesantrenlah tempat perguruan kita yang asli. Karena belum terdesak oleh sekolah Gubernemen, pesantren ribuan jumlahnya. Pengaruh perguruan itu terhadap masyarakat kita, peradaban rakyat, tidak dapat diabaikan. Hubungan antara santri-santri dewasa (istilah sekarang mahasiswa dari universitas; di dalam pondok-pondok yang besar juga diajarkan ilmu lahir dan batin, yang di waktu ini jarang didapati di tanah air kita) erat sekali. Umpamanya, di waktu menanam dan menuai padi, di waktu ada kematian, di waktu bulan Puasa, hubungan yang erat itu nyata benar.”

Baginya, pesantren adalah warisan budaya asli negeri ini. Sebuah warisan yang harus dijaga, dipelihara dan dikembangkan. Sutomo melirik dunia pesantren dengan beberapa alasan, yakni dalam dunia pesantren ada hubungan akrab dan intens antara santri dan kiai; lulusannya ternyata mampu masuk dalam dunia lapangan pekerjaan secara merdeka; kehidupan kiai yang sederhana; dan model pendidikannya berjalan duapuluh empat jam. Di sini ini, akar kekuatan dan kebangkitan tertancap sangat kuat.

Dalam kesaksian ihwal akar yang kuat ini, Dokter Sutomo mengatakan:

“Pesantren dan pondoknya mempersatukan anak-anak muda kita dari segala lapisan masyarakat. Anak petani, anak saudagar, anak bangsawan berkumpul di dalam pondok itu. Keadaan lahir dan batinnya mendapat bimbingan yang sama dari guru sehingga pemuda-pemuda itu, yang di kemudian hari memegang pekerjaan yang beraneka warna di dalam masyarakat, merasa satu karena ikatan lahir dan batin yang telah diletakkan, ditanam di dalam pondok dan pesantren itu. Sikap hidup bangsa kita di waktu itu, dari lapisan mana pun, tidaklah terpecah belah, terpisah satu sama lain seperti sekarang.”

Walaupun Sutomo tidak belajar secara khusus di pesantren, tetapi ia mengakui dengan sangat tegas bahwa pesantren menjadi alat pemersatu anak bangsa. Para anak bangsa bersatu lahir dan batin. Mereka bersatu tidak memandang asal usul, kaya miskin, dan lainnya. Mereka bersatu karena etos nasionalisme dan satu tanah air. Sementara kiai hadir sebagai guru yang selalu mengayomi dan mengikat secara lahir batin, di samping kiai juga selalu menjelaskan bahwa cinta tanah air adalah bagian dari iman.

Lagu Kiai Wahab Chasbullah berjudul Yahlal Waton, atau cinta tanah air, menggema sangat kencang di semua lapisan pesantren. Lagu ini membuktikan bahwa santri selain belajar dengan tekun, etos persatuannya terus diikat dalam seremonial yang selalu dijalaninya. Dalam lagu Yahlal Waton, yang diciptakan sebelum Indonesia merdeka, nama Indonesia sudah disebutkan sebagai negara-bangsa yang harus diperjuangkan, dan siapa saja yang berani melawan kemerdekaan Indonesia, maka akan berhadapan dengan para santri dan kiai.

Dari sini, terbukti bahwa etos nasionalisme yang digerakkan dalam akar bernama pesantren mampu membangkitkan semua potensi kaum muda bangsa. Hampir semua perlawanan terhadap penjajah digerakkan oleh pesantren, termasuk perang 10 November 1945 yang akhirnya ditetapkan sebagai hari pahlawan.

Kaum muda bangsa ini harus kembali kepada akar kebangkitannya. Tidak harus belajar di pesantren, tetapi dengan memahami dengan khidmat makna persatuan yang ditancapkan di pesantren, serta mengaktualisasikan dalam beragam jejaring gerakan untuk meneguhkan persatuan, kesatuan dan kedamaian bangsa.

Facebook Comments