Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

- in Keagamaan
12
0
Emansipasi Damai dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an sejatinya tidak pernah pincang di dalam memosisikan status laki-laki dan perempuan. Di dalam banyak redaksi, keduanya selalu bersanding-an ke dalam peran yang sifatnya sama, cenderung kolaboratif dan tak bersifat mereduksi salah-satunya.

Cobalah pahami, dalam (Qs. An-Nisa’:124) “Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki mau-pun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk dalam surga dan mereka tidak dizhalimi sedikit-pun”. Antara laki-laki dan perempuan memiliki legalitas yang sama dalam amar ma’ruf nahi mungkar (kebajikan) yang disandingkan.

Dalam konteks ayat dan argumentasi di atas, Saya memahami bahwa emansipasi (berbuat kebajikan) dalam menciptakan perdamaian di dalam prinsip Al-Qur’an ini bukan lagi meniscayakan peran yang terpisah antar laki-laki dan perempuan. Tetapi cenderung membangun paradigma kemitraan yang solid dan kolaboratif antar laki-laki dan perempuan.

Al-Qur’an di dalam berbicara kesetaraan selalu berpijak pada prinsip-prinsip keadilan. Pada era Kartini, posisi laki-laki itu sebagai subjek dan perempuan cenderung sebagai objek. Budaya patriarki di era itu tak sekadar mematikan peran perempuan. Tetapi memosisikan peran perempuan tak lagi sebagai sesuatu yang penting selain hanya berperan di kamar melayani seorang suaminya.

Dari sinilah korelasi-etis Al-Qur’an dalam misi keislaman sebagai jalan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan itu. Menariknya, Al-Qur’an membangun spirit emansipasi kesetaraan gender dalam prinsip adil. Kata adil berarti harus seimbang antar laki-laki dan perempuan dalam meniscayakan peran keduanya tanpa ternegasi salah-satunya.

Al-Qur’an memosisikan dua insan laki-laki dan perempuan ke dalam dua peran ganda. Yakni sebagai subjek sekaligus objek. Sebagaimana kalau berpijak pada ayat di atas, berbuat kebajikan itu dapat dibangun oleh dua insan sekaligus. Jadi, perempuan ditegaskan Al-Qur’an juga sebagai subjek yang dapat berperan dalam berbagai sektor seperti pendidikan dan berjuang membangun dunia yang damai.

Memahami ayat (Qs. Al-Baqarah:187) pada dasarnya bukan semata tentang perkara seksualitas. Seperti dalam redaksi “Mereka adalah pakaianmu bagimu (laki-laki) dan kamu adalah pakaian bagi mereka (perempuan)”.

Persamaan-persamaan peran yang ditegaskan di dalam ayat di atas selalu berbicara bagaimana kesetaraan itu dapat dibangun melalui spirit (kebersamaan) peran yang adil, seimbang dan tak saling menegasi. Jadi ini sebetulnya bukan pandangan baru tentang kesadaran keadilan gender. Tetapi ini sebagai paradigma kontekstual di dalam melihat keadilan gender yang dapat kokoh ke dalam kesadaran yang kolaboratif di era kita hari ini di dalam membangun dunia yang damai berdasarkan prinsip kebersamaan dan persatuan.

Memahami argumentasi di atas, Saya ingin mencontohkan ke dalam satu istilah yang diamini masyarakat, bahwa suksesnya seorang laki-laki karena ada dorongan perempuan hebat di belakangnya. Ini bukan semata menunjukkan laki-laki lemah butuh perempuan. Melainkan laki-laki dan perempuan harus saling menjadi support sistem. Sebagaimana perempuan terhormat yakni Sayyidah Kadijah kepada Nabi Muhammad dalam menyukseskan dakwah Islam yang sangat menjunjung kesetaraan itu.

Emansipasi Damai yang Kolaboratif dalam spirit AL-Qur’an

Jadi, di era kita hari ini, spirit emansipasi dalam memperjuangkan kedamaian yang harus kita bangun bukan membuat jalan yang terpisah apalagi menganggap perempuan kuat tanpa laki-laki. Pandangan ini bukan berarti menganggap perempuan itu lemah dan butuh laki-laki.

Pandangan di atas bukan soal prinsip ketergantungan, tetapi prinsip kebersamaan dalam memperjuangkan emansipasi secara kolaboratif. Seperti emansipasi dalam menciptakan bangsa damai tanpa penegasian atas salah-satu peran antar keduanya.

Sebagaimana di dalam Al-Qur’an, laki-laki dan perempuan itu selalu disebut ke dalam entitas nilai yang bersama. Misalnya di dalam (Qs. Al-Hujurat:13) “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu”.

Memahami ayat di atas, emansipasi perdamaian itu tidak bisa hanya diperankan laki-laki saja dan juga tidak bisa hanya diperjuangkan perempuan saja dengan mengatasnamakan kesetaraan. Kesetaraan yang dimaksud Al-Qur’an bukan terpecah ke dalam kesadaran yang reduksionis, tetapi tumbuh ke dalam kesetaraan yang kolaboratif dalam membangun dunia yang damai dan dunia yang harmonis untuk diperjuangkan secara bersama.

Perdamaian tak akan terbangun di atas spirit perpecahan. Karena di dalam (Qs. Az-Zariyat:49) menegaskan, “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan”. Sebagaimana Al-Qur’an selalu menyebut laki-laki dan perempuan ke dalam satu redaksi yang sama. Lantas, bukankah emansipasi damai dan memperjuangkan dunia yang harmonis dapat diperjuangkan dengan semangat kebersamaan yang kolaboratif antar laki-laki dan perempuan? Dengan tetap memegang-teguh prinsip-prinsip kesetaraan itu.

Facebook Comments