Energi Jihad yang Sebenarnya di Bulan Ramadan

Energi Jihad yang Sebenarnya di Bulan Ramadan

- in Keagamaan
417
0
Energi Jihad yang Sebenarnya di Bulan Ramadan

Secara historis Ramadan pada zaman Rasul dan para sahabat juga bertepatan dengan berbagai peristiwa penting, salah satunya tentang peperangan dan kemenangan. Perintah pertama kali puasa juga sangat berdekatan dengan perintah pertama kali jihad yang dilakukan oleh Nabi, yakni perang Badar. Namun, secara kronologis Allah memerintahkan puasa terlebih dahulu (QS: Al-Baqarah 183) dan selanjutnya perintah perang (QS:Al-Baqarah 190). Apa artinya? Sebelum menaklukkan musuh yang nyata, umat Islam harus bisa menaklukan musuh tidak nyata yang bermakna hawa nafsu melalui berpuasa.

Kelompok radikal seperti ISIS pada waktu-waktu tahun keemasannya seringkali menjadikan momentum Ramadan sebagai bulan perang. Makna Ramadna bulan jihad bagi mereka dimaknai bulan perang kepada para musuh-musuhnya. Apa yang dilakukan ISIS memang serampangan. Padahal musuh yang sebenarnya bagi ISIS adalah hawa nafsu mereka. Mereka takluk pada keinginan dan hawa nafsu mereka sendiri.

Jihad tidak secara sederhana dipahami perang. Merupakan pemikiran yang serampangan dengan mengartikan jihad hanya sebatas perang. Akibatnya, Ramadan sebagai bulan jihad adalah bulan yang tepat untuk berperang di jalan Allah. Pertanyaannya, mau perang sama siapa dan mau kemana? Masyarakat di Indonesia harus berperang sama siapa? Harus mencari musuh terlebih dahulu? Atau memandang yang berbeda sebagai musuh yang harus diperangi?

Inilah bahaya memiliki pemahaman yang salah dalam agama. Pemahaman yang sempit ini mengkungkung pemiliknya dalam kotak yang diisi pandangan dunia bipolar kawan-musuh, Islam-kafir, dan Tuhan-setan. Jihad dalam arti perang itulah yang dijadikan instrument untuk melawan yang berbeda.

Sesungguhnya secara bahasa, jihad bersumber dari kata Jahada yang berarti kemampuan, kesusahan. Kata Ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya mengerahkan upaya apakah melalui tangan, lidah atau alat yang bisa membantu untuk mewujudkan upaya itu. Oleh karena itu seorang mujtahid adalah orang yang telah berusaha untuk mengeluarkan tenaganya untuk mendapatkan sesuatu.

Dalam konteks dan waktu tertentu jihad dengan perang tetap dibutuhkan. Semisal perjuangan warga Palestina mempertahankan negaranya. Indonesia zaman penjajahan memaknai perang sebagai jihad. Hal yang menjadi tidak wajar, apabila dalam kondisi damai jihad perang ingin ditegakkan. Itulah salah kaprah beberapa gelintir orang yang sesat menempatkan jihad di bumi yang damai, seperti Indonesia.

Ramadan sebagai bulan jihad berarti bulan penuh perjuangan dan semangat kemenangan. Ramadan bukan malah menyebabkan seorang lemah, berdiam diri, apalagi bermalas-malasan. Sebagai bulan jihad dan perjuangan, justru di bulan ini umat Islam harus lebih produktif meraih kemenangan dalam berbagai aspek, sebagaimana Rasul mencapai kemenangan dalam berbagai persitiwa penting dalam sejarah Islam.

Karena itulah, momentum jihad dalam Ramadan ini harus dimaknai sebagai latihan untuk berjuang melawan musuh yang lebih berat. Perang melawan musuh yang tidak nyata lebih sulit ketimbang melawan musuh yang nyata. Musuh tidak nyata itu adalah hawa nafsu dan setan. Hawa nafsu bisa memalingkan pekerjaan baik menjadi tidak baik bahkan menjadi sia-sia karena semata mengerjakan bukan demi Allah. Hawa nafsu sukar dideteksi karena terkait gejolak hati dalam diri. Karena itulah, wajar jika Rasul SAW mengatakan peperangan hawa nafsu sebagai perang besar (jihadul akbar).

Di bulan Ramadan ini sebenanrya jihad yang sesungguhnya diuji. Bagaimana umat Islam dengan lapar dan haus tetapi masih bisa beraktifitas dalam kebaikan. Bagaimana umat Islam dengan keterbatasan tenaga tetapi masih bergairah dalam melakukan kebaikan bersama-sama. Meraih kebaikan dengan sungguh-sungguh dengan segala keterbatasan adalah jihad.

Ka’ab bin ‘Ujrah menceritakan bahwa, pada suatu ketika, Rasulullah Saw sedang duduk bersama para sahabat. Di sela-sela itu, kemudian lewatlah seorang lelaki dengan penuh semangat dan rasa optimisme yang tinggi. Para sahabat kemudian ada yang melontarkan pertanyaan kepada Nabi: “Wahai Rasulullah, seandainya ini termasuk (jihad) di jalan Allah.” Rasulullah pun menjawabnya: “Jika dia keluar bekerja untuk keperluan anaknya yang masih kecil, berarti dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar karena hendak menjaga dirinya dari meminta-minta, berarti dia di jalan Allah. Dan jika dia keluar untuk pamer dan menyombongkan diri, berarti dia di jalan syetan.” (HR. At-Thabrani).

Orang tua yang keluar pada bulan Ramadan untuk mencari nafkah bagi keluarganya dengan kondisi payah berpuasa adalah jihad. Generasi muslim kita yang sedang berpuasa menahan lapar sambil menimba ilmu di sekolah dan madrasah adalah para mujahid. Mereka yang sedang bekerja di instansi pemerintah untuk kepentingan masyarakat adalah berjihad.

Energi jihad akan lebih terasa di bulan Ramadan ketika diri kita dalam keterbatasan energi, tetapi tidak merasa terbatas dalam semangat untuk melakukan kebaikan. Itulah jihad di bulan Ramadan.

Facebook Comments