Sulit membayangkan bagaimana satu keluarga yang terdiri atas bapak, ibu, dan anak-anak melakukan aksi terorisme bersama-sama. Mereka meledakkan diri dengan bom terpasang di badannya. Namun, sayangnya itu bukan adegan film. Juga bukan imajinasi dalam novel. Itu adalah kisah nyata.
Tidak hanya sekali, namun kasus terorisme berbasis keluarga ini terjadi berkali-kali di Indonesia. Yang paling fenomenal tentu kasus terorisme sekeluarga di Surabaya dimana ayah, ibu, dan kedua anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri.
Peneliti dan aktivis Lies Marcoes, dalam sebuah tulisannya menyebut bahwa keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror adalah fenomena baru yang patut diwaspadai. Sebelumnya, peran perempuan dalam gerakan rasikalisme terorisme biasanya sebatas pembantu di balik layar.
Munculnya teroris perempuan atau terorisme berbasis keluarga adalah indikasi bahwa peran perempuan dalam gerakan rasikalisme telah mengalami transformasi. Mereka tidak hanya berada di balik layar, namun mulai menjadi aktor lapangan alias eksekutor.
Tanya Mehra, dalam buku Female Terrorist Facing Justice menyebutkan bahwa fenomena terorisme berbasis keluarga membuktikan bahwa radikalisasi di ranah domestik alias rumah tangga itu sangat berbahaya.
Bagaimana tidak? Coba bayangkan jika ayah sebagai kepala keluarga terpapar ideologi radikal, lalu ia mendoktrinkan ideologi radikal itu ke istri dan anak-anaknya. Sebagai kepala keluarga, ayah tentu memiliki otoritas dan posisi tawar yang kuat. Sebaiknya, istri dan anak berada dalam posisi lemah sehingga kerap terjebak dalam situasi fait acomply alias tidak ada pilihan lain.
Tidak hanya itu, transmisi radikalisme di ranah domestik juga nisbi sulit dikontrol. Ranah domestik identik sebagai ruang privat yang tertutup dari intervensi orang lain. Apalagi, dalam konteks masyarakat yang patriarkis seperti Indonesia, relasi kuasa di ranah domestik atau rumah tangga kerap kali timpang. Alhasil, radikalisasi terjadi tanpa ada hambatan atau counter dari pihak mana pun.
Radikalisasi di ranah domestik bisa dicegah dengan melibatkan perempuan sebagai bahkan dari kontra narasi ekstremisme. Di ranah domestik, perempuan atau ibu sebenarnya memegang peranan sentral dalam ketahanan keluarga.
Bahkan, ibu adalah pilar penting ketahanan keluarga. Dalam hal kepengasuhan anak, perempuan atau ibu juga menjadi aktor penting yang membentuk watak dan karakter anak. Bahkan, menurut sejumlah penelitian, kecerdasan anak menurun dari gen ibunya.
Memberdayakan Perempuan Kunci Mencegah Radikalisasi Domestik
Maka, penting bagi ibu untuk mengembangkan model kepengasuhan berbasis simpati dan empati. Ini penting agar anak kelak memiliki kepedulian terhadap orang lain. Anak yang tumbuh dengan fondasi kepedulian yang kuat niscaya sulit untuk dicekoki dengan ideologi kebencian apalagi kekerasan.
Peran strategis perempuan di ranah domestik ini harus dioptimalkan untuk mencegah radikalisasi di ranah domestik. Maka dari itu, perempuan atau ibu harus memiliki rasionalitas dan nalar kritis yang kuat. Hal itu penting agar perempuan tidak mudah diinfiltrasi oleh pemikiran atau ideologi keagamaan radikal.
Dalam konteks ini, perempuan mutlak harus memiliki literasi keagamaan yang kuat. Literasi keagamaan bukanlah sekadar pengetahuan tentang ajaran agama, namun juga memahami sekaligus mempraktikkan pola relasi keberagamaan yang toleran, inklusif, dan moderat.
Selain literasi keagamaan perempuan atau ibu juga dituntut memiliki literasi digital yang mumpuni. Yakni kemampuan untuk memilah dan memilih informasi yang terjadi di ranah daring. Apalagi di era sekarang ketika radikalisasi daring menjadi strategi andalan kelompok ekstrem untuk menjaring sebanyak mungkin pengikut.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya adalah perempuan harus berdaya dan memiliki kemandirian dalam hal ekonomi dan sosial. Kemandirian ini penting agar perempuan punya posisi tawar yang kuat di hadapan lelaki atau suaminya. Kemandirian adalah model penting agar perempuan bisa mengatakan tidak saat suami atau orang terdekatnya mengajak bergabung atau menjadi pelaku terorisme.
Membangun kemandirian dan memberdayakan perempuan tentu bukan pekerjaan instan. Kita perlu menyusun strategi dan langkah dari hulu ke hilir. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membongkar mitos bahwa perempuan adalah makhluk domestik yang hanya cocok bekerja di sektor rumah tangga.
Mitos ini yang kerap menghalangi akses perempuan ke ranah publik. Padahal, secara kapasitas perempuan kerapkali tidak kalah dengan laki-laki. Kita harus membangun kesadaran baru bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk berkiprah di ruang publik. Dengan begitu, akses perempuan pada dunia pendidikan dan pekerjaan akan semakin terbuka lebar.
Langkah kedua adalah mendorong dan memfasilitasi perempuan agar memaksimalkan potensinya di ranah publik. Pengarusutamaan gender (gendermainstreaming) harus menjadi spirit seluruh sektor baik pemerintahan maupun swasta. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam pemberdayaan perempuan merupakan kunci mencegah merebaknya radikalisasi domestik yang menjadi akar fenomena terosisme berbasis keluarga.