Mengapa Teroris Perempuan?

Mengapa Teroris Perempuan?

- in Analisa
200
0
Mengapa Teroris Perempuan?

Sejatinya jika mau fair tidak ada istilah teroris perempuan dan laki-laki. Semua orang dengan jenis kelamin apapun bahkan dengan latar belakang sosial, ekonomi dan budaya apapun berpotensi melakukan tindak kejahatan. Namun, istilah teroris perempuan menyeruak ke permukaan karena lazimnya panggung aksi teroris didominasi oleh laki-laki.

Sejak kapan perempuan mulai mencuri panggung dalam aksi terorisme? Sejatinya keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme bukanlah hal baru. Namun, yang menarik untuk ditanyakan lebih lanjut sejak kapan perubahan peran keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme dari sekedar simpatisan dan pendukung bermetamorfosa menjadi pelaku?

Perubahan peran perempuan dalam jaringan terorisme memang tidak bisa dilepaskan dari pola gerakan ISIS. Terorisme gelombang pertama dari jaringan al-Qaeda belum secara kentara melibatkan perempuan sebagai aktor terdepan atau martir. Dalam struktur gerakan dan jaringan terorisme pada masa ini perempuan hanya menjadi simpatisan, pendukung dan mungkin paling parah sebagai perekrut dan ideolog sesama kelompok perempuan.

Namun, hadirnya ISIS telah mempengaruhi tidak hanya model aksi, tetapi yang paling penting adalah ideologi dan pemahaman individu yang terjerat dalam jaringan terorisme, termasuk kalangan perempuan. ISIS memanfaatkan perempuan bukan lagi sebagai aktor di belakang layar, tetapi sebagai lakon utama di panggung kekerasan publik. Tidak mengherankan pasca ISIS banyak sekali martir dari kalangan perempuan yang menjadi korban martir yang diperdaya “teroris laki-laki”.

Nah, selanjutnya kita akan beralih pada pertanyaan berikutnya kenapa harus perempuan? Di Indonesia tokoh dan cerita penting dari keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme adalah Dian Yulia Novi, mantan pekerja migran di luar negeri yang bersimpati pada perjuangan ISIS. Dalam pengakuannya ia mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet, khususnya melalui jejaring Facebook dan situs radikal lain, termasuk situs jihad online yang dikelola jejaring Aman Abdurrahman.

Tibalah akhirnya ia bersedia menjadi martitr setelah dinikahi secara online oleh aktor radikal dan menyuruhnya untuk melakukan aksi. Tidak tanggung-tanggung, aksi Dian menargetkan istana negara. Untungnya, menjelang akhir 2016, Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI menangkap perempuan ini di rumah kosnya di Bekasi Barat. Di sinilah dimulai kisah perempuan pertama yang bersedia menjadi martir dan korban doktrinasi teroris laki-laki.

Cerita perempuan melakukan aksi teroris kemudian berlanjut dalam lembaran sejarah terorisme di Indonesia. Untuk tidak menyebutkan semuanya kita masih ingat dua belia yang dijuluki Duo Siska yang nekat ingin membantu para napiter di Mako Brimob pasca kerusuhan. Kemudian ada, Zazkia Aini yang nekat melakukan aksi tunggalnya di Mabes Polri hingga kejadian terakhir Siti Elina yang lebih nekat lagi ingin mencoba menerobos istana.

Selain aksi mandiri di atas, keterlibatan perempuan dalam aksi tentu masih bisa dihitung. Ada kejadian bom Surabaya yang dikenal (family terrorism) menampakkan ibu yang menggandeng anaknya masuk ke gereja lalu meledakkan diri. Ada pula, perempuan yang menjadi pasangan aksi terorisme di Gereja Makassar yang baru menikah dan memilih bulan madu dengan melakukan aksi terorisme.

Tidak bisa dilupakan adalah kejadian aksi perempuan di Sibolga Medan. Setelah suaminya, Abu Hamzah, berhasil diamankan aparat, istrinya, Solimah memilih berdiam di dalam rumahnya dengan bom berdaya tinggi yang siap ledak. Banyak orang akan mengira Solimah akan menyerahkan diri karena di situ juga ada anaknya. Namun, sang suami mengatakan jika istrinya sesungguhnya lebih militan dan memiliki pemikiran yang lebih radikal dari pada dirinya.

Di sinilah poin penting itu berlabuh. Keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme salah satunya karena perempuan ketika meyakini sesuatu akan lebih loyal, setia dan militan. Perempuan cengderung memilih satu titik pandangan yang diyakininya dan tidak akan mudah tergoyahkan. Mendoktrin perempuan tentu akan lebih mudah. Musda Mulia memandang sesungguhnya keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme walaupun sudah naik kelas dari pendukung menjadi pelaku sejatinya posisi mereka tetaplah korban laki-laki.

Perempuan adalah korban kesetiaan indoktrinasi. Ketika mereka mengagumi perjuangan dan meyakini doktrin, senekat apapun mereka akan melakukan aksi. Tingkah pola aksi teror amatiran akan dipertontonkan oleh teroris perempuan. Bukan pada metode dan cara yang mereka pertimbangkan tetapi militansi dan keinginan yang kuat untuk terlibat dalam aksi yang dipandangnya sebagai hal mulia.

Ciri teroris perempuan dapat dilacak dengan militansi yang kuat, namun dengan cara yang amatiran. Mereka tidak peduli berapa amunisi yang digunakan dan strategi apa yang harus dilancarkan. Masuk ke sarang aparat keamanan mungkin terlihat gila bagi sebagian orang. Tidak jaringan pula yang memandang itu settingan. Namun, sejatinya itulah aksi nekat dan amatiran perempuan yang militan.

Jadi jika ada yang mempertanyakan kenapa aksi perempuan teroris terlihat seperti settingan dan tidak masuk akal, itulah karakter dari kaum militan yang bertindak amatiran. Banyak sekali contoh-contoh aksi mereka yang memang terlihat tidak masuk akal. Namun, dalam diri perempuan pengakuan, ketundukan terhadap suami, kesetiaan pada keyakinan, dan Tindakan mulia dengan apapun caranya adalah bagian dari pengorbanan yang telah ia berikan.

Karena itulah, penting memikirkan cara membentengi perempuan sebagai korban doktrin laku-laki. Perempuan memang harus segera diletakkan sebagai subyek tidak selalu menjadi obyek dalam hal penyadaran. Perempuan penting diselamatkan karena sejatinya ia adalah kunci bagi generasi berikutnya.

Facebook Comments