Pasca tewasnya enam anggota FPI yang sampai sekarang masih simpang-siur tentang kronologi kejadiannya, media sosial dibanjiri dengan dua narasi. Pertama, keenam orang yang tewas itu adalah para syuhada. Kedua, Front Pembela Islam adalah pihak yang terzalimi dan pemerintah secara umum dan polisi secara khusus adalah pihak yang menzalimi.
Kedua narasi ini bak bola salju, menggelinding dan terus membesar, serta mendapat simpati dan empati berbagai kalangan. Klaim kesyahidan dan narasi terzalimi adalah pion yang dimainkan oleh FPI dan simpatisannya untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan.
Lepas dari kontroversi kronologi tewasnya enam orang itu, kita perlu menyoal dua narasi ini. Benarkan keenam anggota FPI itu adalah para syuhada? Benarkah FPI sebagai pihak yang terzalimi?
Mendudukkan kedua perkara ini saya kira penting agar kita bisa memberikan narasi tandingan sekaligus sebagai counter terhadap klaim dan narasi yang mereka lancarkan.
Soal Kesyahidan
Syahid adalah bentuk subjek (isim fail) dari sya-ha-da, artinya adalah orang yang menyaksikan. Menyaksikan apa? Para ulama memberikan banyak penjelasan. Ada yang menyebut menyaksikan keridhaan ilahi, menyaksikan surga, sebagian lain menyebut, menyaksikan pahala dan malaikat.
Dengan demikian, syahid adalah orang yang menyaksikan akan keridhaan ilahi, surga, pahala, dan malaikat yang menjemputnya. Syahid adalah orang yang sangat mulia. Dalam Islam, ia dipandang sebagai sebuah keistimewaan dan ia menjadi sesuatu yang dicita-citakan.
Akan tetapi, apakah kesyahidan itu bisa diobral dan diklaim begitu saja? Jelas tidak. Syahid tidaknya seseorang adalah hak prerogatif Tuhan, bukan klaim sepihak manusia.
Syahid biasanya dibagi tiga: syahid dunia-akhirat, syahid dunia saja, dan syahid akhirat saja. Yang pertama, adalah mereka yang secara ikhlas dan mengharap ridha Allah terjun ke medan perang demi menegakkan kalimatullah dan meninggal di medan perang.
Yang kedua adalah orang yang berangkat ke medan perang dan mati, tetapi niatnya adalah untuk mendapatkan harta ganimah, bukan untuk menggapai keridhaan Allah.
Yang ketiga adalah orang yang maninggal sesuai dengan keriteria yang diberikan oleh Nabi, seperti orang meninggal tenggelam, melahirkan, kebakaran, wabah, dan sebagainya.
Dari ketiga klasifikasi ini, keenam orang anggota FPI yang tewas itu kita masukkan ke mana? Tidak ada sama sekali. Yang pertama jelas tidak. Kita bukan dalam kondisi berperang. Kita dalam keadaan damai. Pihak polisi bukanlah musuh layaknya dalam fikih peperangan.
Dimasukkan ke nomor dua, ini juga tidak bisa. Selain alasan seperti di atas, juga kita tidak tahu apa motif dan niat keenam orang itu. Dimasukkan ke ketegori syahid ketiga, jelas tidak juga. Dari sekian penjelasan yang diberikan oleh Nabi, tidak ada penjelasan sama sekali bahwa orang yang mati akibat bersitegang dengan pihak yang berwajib dianggap sebagai syahid.
Ini bukan berarti membenarkan tewasnya enam anggota FPI tersebut. Ini semata-mata hanya menyoal klaim kesyahidan mereka yang seolah-olah meraka adalah pahlawan yang sangat berjasa.
Penjelasan di atas sekigus menunjukkan kepada kita, klaim kesyahidan itu hanya permainan emosi dan klaim sepihak yang dilakukan oleh FPI dan simpatisannya demi mendapat simpati dan empati dari berbagai pihak. Itu adalah klaim omong kosong.
FPI Terzalimi?
Selian klaim kesyahidan, narasi bahwa FPI dizalimi juga menghiasi lapak media sosial kita. Seolah-olah FPI adalah korban, pihak yang dijebak, dan sengaja dikriminalisasi. Tidak tangggung-tanggung, seruan untuk jihad menuntut pembebasan Rizieq Syhihab yang bagi mereka dijadikan sebagai Imam Besar, menggema dan beberapa pamflet di media sosial sengaja diviralkan.
FPI dan para simpatisannya memeng jago memainkan emosi masyarakat. Branding dengan mengunakan kata-kata jihad, ummat, kriminalisasi ulama, membuat banyak orang –terutama anak muda –terhipnotis.
Banyak di masyarakat yang termakan akan narasi mereka. Pembelaan dan dukungan, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, bisa kita lihat jejak di media sosial. Padahal fakta menunjukkan, yang melakukan kezaliman justru adalah FPI sendiri.
Sudah tahu situasinya lagi Covid, FPI dan simpatisannya malah menyambut Rizieg Syihab dengan ribuan orang, dan itu dianggap sebagai sebuah kebanggaan. Sudah tahu lagi pandemi, malah bikin maulidan dan nikahan yang mengundang 10.000 orang. Sudah tahu lagi corona, malah ada agenda tablik akbar di berbagai daerah untuk melaksankan egenda revolusi akbar.
Sudah ditegur, tetap ngotot. Acara tetap dilaksanakan dengan penuh arogansi. Dipanggil buat diminta keterangan karena melanggar prokes, malah mangkir. Polisi bahkan dihalangi dan dicemooh. Dua kali dipanggil, dua kali juga mangkir.
Pada titik ini sebenarnya siapa yang zalim? FPI lah yang melakukan kezaliman. Sengaja mengumpulkan ribuan orang dalam kondisi pandemi. Sengaja menghasut, mencaci-maki, dan mendoakan buruk pihak yang mereka anggap sebagai lawan. Narasi sebagai korban yang terzalimi dan klaim kesyahidan hanyalah akal-akalan FPI dan simpatisannya.