Istilah ‘fundamentalisme’ dalam dekade terakhir ini menjadi perbincangan hangat, tidak hanya oleh kaum intelektual atau akademisi semata, tapi juga masyarakat luas. Fundamentalis(me) seringkali dihujat keberadannya, karena oleh opini publik terlanjur diidentikkan dengan aksi-aksi kekerasan, baik berupa teror bom, anarkisme, pengrusakan tempat-tempat yang dianggap sarang maksiat, dan lainnya, dianggap merupakan ulah kelompok fundamentalisme. Lalu apa dan siapa sebenarnya fundamentalis(me) itu?
Dari akar kesejarahannya, ia merupakan salah satu fenomena abad 20, atau lebih tepatnya, istilah itu dipakai oleh kaum Protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri dari kaum protestan yang lebih liberal. Sajak saat itu, istilah fundamentalisme dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia.
Berdasarkan pemahaman itulah, fundamentalisme yang pada mulanya lahir dari tradisi Barat dan agama Protestan, juga terjadi dalam praktik pemahaman dan keagamaan agama Islam. Fenomenanya tidak hanya di masyarakat luas, tapi juga telah menggejala di lingkungan kampus, baik di perguruan tinggi umum, maupun berbasis agama.
Dalam konteks kehidupan di kampus, keberadaan mereka (kelompok fundamentalis) hidup berkelompok dalam suatu wadah gerakan mahasiswa ekstraparlementer yang berafiliasi pada ideologi besar Wahabi dan Ikhwanul Muslimin di Timur Tengah. Nur Khalik Ridwan (2004), menyebutkan kelompok tersebut dengan istilah “kelompok usroh”, yang lazimnya mengusung jargon-jargon seperti “Islam Kaffah”, ‘isy kariman aw mut syahidan (Hidup Mulia atau Mati Syahid), penegakan syariat Islam di Indonesia, dan lain-lain.
Ciri dan karakternya cukup beragam: adakalanya di samping pola keberagamaannya yang menutup diri (ekslusif), juga dicirikan dengan penggunaan pakaian muslim/muslimah yang khas; bagi laki-laki biasanya memakai celana panjang di atas mata kaki, sedangkan perempuan menggunakan kerudung yang lebar menutupi hingga ke perut, dan bahkan ada pula yang lebih ekstrim dengan menggunakan cadar layaknya (maaf) “ninja”.
Karakter dasar fundamentalisme itu memang tidak bisa diberlakukan kepada semua orang yang bercirikan seperti yang disebutkan di atas, tetapi sebagai klasifikasi sosiologis, ciri-ciri itu banyak benarnya. Menarik apa yang diungkap Ahmad Shidqi dalam sebuah wawancara dengan seorang mahasiswa yang menggunakan cadar di Yogyakarta. Lewat penokohan bernama Alifah, ia bertutur: “Latar belakang saya itu dari desa. Keluarga saya sangat kuat memegang paham keagamaan ‘tradisional’. Bahkan orang tua saya tercatat sebagai pengurus salah satu ‘ormas keagaman tradisional’ yang menganggap kelompok seperti saya ini sebagi pihak yang memang tidak boleh diikuti. Tapi setelah saya kuliah di Yogya ini, saya kok tertarik mengikuti kelompok orang-orang yang bercadar itu” (Shidqi, 2008: 20).
Apa yang menjadi pilihan hidup Alifa itu, diakuinya, sesuai dengan sunnah Rasul—meski ‘konon’ hanya memberi stempel “sunnah” untuk dilakukan. Dalam kacamata sosio-teologis, fenomena yang ditampakkan Alifa menurut pengamatan Shidqi dikatakan fanatisme, yakni mengamalkan perintah agama secara tekstual, dogmatis, tanpa mempertimbangakan ruang dan waktu konteks perintah dari al-Qur’an dan hadis.
Itulah sebabnya, fundamentalisme lebih sering muncul dalam wujud yang negatif. Ia lebih banyak dibungkus dengan nalar perlawanan, logika permusuhan serta–meminjam istilah John L. Esposito–ideologi kebencian. Sudah tak terhitung lagi korban kemanusiaan yang menjadi “tumbal” akibat disharmoni hubungan lintas agama sepanjang sejarah.
Karen Armstrong menengarai bahwa sikap terlampau fanatik dalam beragama (over fanatism in religious faith) sebagai penyebab utama adanya gejala destruktif ini. Paradigma sempit serupa inilah yang kemudian berandil menentang setiap upaya sekularisasi dan modernisasi yang terjadi di tubuh agama. Lahirlah absolutisme pemikiran—dengan perisai purifikasi ajaran agama—yang memaksakan penafsiran literal terhadap pelbagai problema keummatan. Segala ihwal mesti dirujuk secara skriptural kepada sumber (hukum) tekstual yang serba baku.
Ruh agama tidak lagi dijadikan kekuatan pembebas (liberating force) yang menjunjung nilai luhur kemanusiaan (humanisme) dalam porsi yang pantas. Sebaliknya ia justru dijadikan kekuatan penebas yang memenggal paham dan pemikiran yang berbeda dan tak selaras.