Salah satu doktrin paling penting dalam gerakan kelompok radikal di Indonesia adalah al-Walā’ Wal Barā’. Doktrin al-Walā’ Wal Barā’ ini bahkan menjadi akidah bagi kelompok jihadis radikal untuk bersikap ekslusif kepada orang yang beragama selain Islam. Konsep al-Walā’ Wal Barā’ini menjadi pilar utama gerakan dakwah mereka.
Sebagaimana dikatakan Saifuddin (2019), doktrin al-Walā’ Wal Barā’, banyak dinilai sebagai doktrin terpenting dikalangan jihadis radikal. Melalui kerangka al-Walā’ Wal Barā’ ini mereka mendefinisikan siapa yang harus dipatuhi dan siapa yang harus dimusuhi atau dijauhi, siapa yang masuk kategori muslim dan siapa yang kafir, siapa yang se aqidah dan siapa yang bukan, siapa kawan jihad dan siapa lawan sasaran jihad.
Konsep al-Walā’ bermakna mencintai, loyal, mendukung dan mengikuti. Sementara al-Barā’ bermakna menjauhi, meninggalkan, melepaskan diri, dan memusuhi di luar kelompoknya, (Noorhaidi Hasan, 2006. 198). Konsep al-Walā’ Wal Barā’seringkali menimbulkan masalah atau konflik sosial di Indonesia, karena konsep ini dipahami secara tekstual.
Melalui al-Walā’ Wal Barā’umat Islam diharuskan untuk berkomitmen kesetiaan dengan sesama Muslim dan melepaskan diri dari ikatan persahabatan dengan agama lain atau membenci non Muslim. Hal ini adalah konsep yang salah kaprah dan tidak relevan dengan kontens keindonesiaan. Pada praktiknya al-Walā’ Wal Barā’ menganjurkan seorang Muslim untuk loyal kepada komunitas Muslim dan persaudaraan umat Islam di mana pun berada, dan menuntut seorang Muslim untuk memusuhi, membenci, dan menjauhi orang-orang kafir.
Al-Walā’ secara harfiah menjadikan orang lain sebagai wali, teman dekat, panutan, dan mungkin pemimpin. Sedangkan di dalam beberapa ayat al-Qur’an melarang umat Islam untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, saudara, atau sahabat akrab.
Adapun al-Barā’ adalah tuntutan pada beberapa ayat al-Qur’an terhadap umat Islam untuk berlepas diri dari kekufuran, kesesatan, dan kemaksiatan, dan juga dari mereka yang melakukannya. Al-Barā’ merupakan perintah agama terhadap umat Islam untuk memusuhi, membenci, dan menjauhi kekafiran dan kemusyrikan, serta orang-orang kafir dan orang yang sesat, atau bahkan umat Islam yang bersahabat dekat dengan non-Muslim.
Praktik doktrin al-Walā’ Wal Barā’ini sangat jelas terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 yang mendiskriminasi Ahok sebagai calon Gubernur. Mengingat Ahok sebagai seorang kristiani menurut kelompok radikal tidak boleh dan pantas sebagai pemimpin di Jakarta. Untuk itu, mereka akhirnya melakukan berbagai gerakan massa seperti 212, 411 dan sebagainya.
Padahal konsep al-Walā’ Wal Barā’ini hanya bisa diberlakukan dalam kondisi peperangan dan tidak dapat diaplikasikan dalam kondisi damai seperti Indonesia saat ini. Penerapan konsep al-Walā’ Wal Barā’bisa dilakukan dengan syarat utama sedang dalam kondisi peperangan yang ditandai dengan pengumuman kondisi Darurat Militer yang diumumkan oleh pemimpin suatu negara dan hanya dapat digunakan untuk kelompok di luar negara kita yang menjadi musuh dari negara yang kita bela, artinya sifat dari konsep al-Walā’ Wal Barā’itu bersifat politis, alih-alih dianggap sebagai perintah teologis.
Demikian salah satu bentuk gagal paham doktrin al-Walā’ Wal Barā’ oleh sekelompok umat Islam. Sikap solidaritas sesama Muslim oleh sebagian kalangan dijadikan alat ukur dalam menilai keimanan orang lain. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian orang memasukkan al-Walā’ Wal Barā’ ke dalam akidahnya.
Pengarusutamaan Moderasi Beragama
Maka dari itu, penting untuk mengarusutamakan moderasi beragama. Ia sejatinya adalah esensi dan substansi dari ajaran agama yang sama sekali tidak berlebihan, baik dalam cara pandang atau bersikap. Prinsip moderasi beragama (wasathiyah) adalah sikap dan cara pandang yang penuh dengan nilai-nilai keseimbangan (balance) dan adil (justice), (Kemenag 2019).
Melalui Moderasi Beragama dapat dipahami bahwa seseorang dalam beragama tidak boleh ekstrim pada pandangannya, melainkan harus selalu mencari titik temu. Dengan adanya al-Walā’ Wal Barā’justru konsep ini ingin bercerai berai dengan sesama manusia. Karena alasan perbedaan teologis yang diyakininya.
Oleh karena itu, moderasi beragama harus dijunjung dan diberlakukan dalam setiap nafas kehidupan, setidaknya akan mengurangi prasangka yang kemudian melahirkan konflik dan pertentangan. Karena perbedaan itu sejatinya Sunnatullah, dan kita sangat dianjurkan untuk mencari kesamaan pandangan, bukan kemudian melarang perbedaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Wildan Hefni (2020), Moderasi beragama merupakan tangga awal untuk menumbuhkan toleransi dan persatuan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, antara satu pemeluk agama dengan pemeluk agama lain, dan antar satu komunitas dengan komunitas yang lain. Moderasi beragama adalah memperlakukan orang lain secara terhormat dengan menerima perbedaan sebagai ciri dari keragaman.
Akhirnya melalui penguatan Moderasi Beragama, doktri al-Walā’ Wal Barā’ dengan sendirinya bisa tereduksi. Karena doktrin ini sejatinya bertentangan dengan spirit keindonesiaan yang plural.