Hari ini, Sumpah Pemuda itu tinggal sejarah. Tertulis di banyak buku tapi jarang dijamah. Tergambar dalam diorama museum yang sepi pengunjung. Sumpah Pemuda diperingati saban tahun dengan penuh euforia namun prinsipnya acap kali tidak hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemuda hari ini sibuk tenggalam dalam scroll culture. Budaya ketika mayoritas masyarakat menggulir media sosial, mencerna informasi yang berkelebat hadir serba cepat namun tidak meninggalkan jejak.
Kecepatan informasi berbanding lurus dengan kedangkalan berpikir. Kita mengonsumsi ratusan informasi setiap hari. Namun, kita tidak belajar apa pun dari informasi tersebut. Kita berselancar di atas derasnya arus informasi namun lupa menyelam ke dalamnya. Alhasil, kita mulai kehilangan makna atas kegiatan mengonsumsi informasi tersebut. Apa hasilnya?
Kita menjadi mudah sekali diprovokasi untuk berdebat hal remeh remeh dan nirfaedah. Media sosial setiap hari berisi perdebatan yang tidak mutu. Misalnya tentang polemik ijazah mantan presiden yang entah kapan akan selesai.
Dan polemik-polemik lain yang membuat kita mengalami kelelahan (fatigue). Kita juga menjadi mudah diadu domba oleh isu sumit yang belum jelas keberadaannya. Lebih parah dan berbahayanya lagi, kita menjadi mudah dihasut untuk membenci kelompok yang berbeda dan melawan pemerintahan yang sah.
Jika kita membuka kembali lembar sejarah gerakan kaum muda, jelas di sana tampak bahwa salah satu modal penting revolusi kemerdekaan itu adalah persatuan. Perlawanan dengan senjata sudah pasti mudah dipatahkan oleh kolonial. Jalur negosiasi sudah barang tentu macet jika setiap individu atau mengusung kepentingan sendiri.
Sumpah Pemuda sebenernya bukan sekadar pengakuan atas Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa Indonesia. Lebih dari itu, Sumpah Pemuda pada dasarnya adalah simpul yang mengikat berbagai kepentingan politis dan ideologis ke dalam satu visi kebangsaan yang sama.
Sumpah Pemuda ibaratnya seperti lokomotif yang menarik sejumlah gerbong dengan penghuni yang berbeda kelas sosial dan latar belakang namun sebenarnya memiliki tujuan akhir yang sama, yakni stasiun kemerdekaan.
Hari ini lokomotif itu macet. Gerbong gerakan pemuda terbengkalai. Ironisnya, gerbong-gerbong itu mulai diambil alih oleh pihak-pihak yang berpunya kepentingan jahat terhadap negara dan bangsa Indonesia. Ada gerbong yang diambil alih oleh kaum radikal. Mereka menjadikan anak muda sebagai agen penyebar ideologi keagamaan radikal.
Ada gerbong yang diambil alih oleh pihak asing. Meraka merusak mental anak muda dengan berbagai produk budaya. Tujuannya untuk melemahkan mental sehingga tidak punya daya saing secara global. Ada pula gerbong yang diambil alih oleh gerombolan haus kekuasaan politik. Kelompok ini menunggangi suara kritis anak muda untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah.
Di era scroll culture nilai Sumpah Pemuda harus diamplifikasi ulang dengan metode dan strategi yang relevan zaman. Upacara bendera, kunjungan ke museum, seminar dan seremoni sejenisnya tidak lagi relevan dengan gaya hidup gen Z apalagi gen Alpha yang digital minded.
Menikmati podcast, meme, game online, live streaming, video pendek dan kontan digital lainnya adalah gaya hidup baru kalangan gen Z dan Alpha. Scroll culture adalah keniscayaan yang tidak dapat ditolak. Maka diperlukan strategi untuk mengamplifikasi nilai Sumpah Pemuda ke kalangan generasi Z dan Alpha hari ini.
Langkah pertama yang wajib diambil adalah mendesain ulang pembelajaran sejarah di sekolah. Model pembelajaran sejarah yang tekstualis dan membosankan harus direkonstruksi, diganti dengan metode yang lebih gen Z dan gen Alpha friendly.
Digitalisasi arsip sejarah jangan sampai hanya berhenti pada aspek formal seperti menscan dokumen bersejarah agar bisa diakses melalui gawai pintar. Digitalisasi sejarah harus menyentuh aspek yang lebih fundamental dan substansial. Yakni mengahdirkan sejarah melalui konten digital yang ramah bagi kaum muda.
Kanal-kanal sejarah di platform media sosial seperti Asisi Channel atau Jas Merah (YouTube Mojok) kiranya patut diduplikasi ke dalam metode pembelajaran sejarah.
Langkah kedua, pemerintah kiranya perlu menggandeng para influencer atau key opinion leader (KOL) untuk ikut aktif mempromosikan nilai Sumpah Pemuda. Peringatan Sumpah Pemuda harus menjadi momentum untuk memviralkan hakikat kecintaan terhadap Tanah Air, Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jika perlu, pada momen 28 Oktober para influencer dan KOL diajak untuk bersama-sama mengunggah konten tentang Sumpah Pemuda dari beragam sudut pandang pembacaan.
Layaknya sebuah produk, sejarah seperti Sumpah Pemuda harus diendorse oleh sosok yang punya kekuatan atau pengaruh di media sosial. Jika politisi mampu membayar buzzer untuk mempengaruhi suara konstituennya, mengapa negara tidak bisa menggerakkan influencer untuk mengampanyekan nilai Sumpah Pemuda?
Terakhir, namun tidak kalah penting adalah mendorong kaum muda untuk menjadi agen transformasi di media sosial. Kaum muda tidak boleh hanya menjadi konsumen, ia harus didorong menjadi produsen pengetahuan yang menyebarkan narasi damai dan bersatu di kanal maya.
Perjuangan menyamakan visi anak bangsa hari ini tidak lagi dilakukan melalui kongres seperti angkatan 1920an. Visi kebangsaan kaum muda hari ini bisa disatukan melalui jejaring komunikasi digital.
