Hadiah Kurban dari Non Muslim, Toleransi yang Kebablasan?

Hadiah Kurban dari Non Muslim, Toleransi yang Kebablasan?

- in Narasi
13
0
Hadiah Kurban dari Non Muslim, Toleransi yang Kebablasan?

Seringkali dan mulai agak nyaring istilah toleransi kebablasan digaungkan. Seolah praktek toleransi harus dibatasi agar iman dan akidah terjaga. Dalam asumsi ini, toleransi seolah berpotensi melunturkan akidah. Cara pandang ini berhasil menakut-nakuti sebagian umat Islam yang terbiasa dalam kehidupan sehari-hari berinteraksi dengan yang berbeda agama.

Toleransi kebablasan seolah menjadi alarm bagi yang bergulat dalam toleransi untuk tidak terlalu jauh bertoleransi. Atau dalam kata lain, jangan toleransi yang terlalu dalam hingga menyentuh akidah dan ritual.

Pertanyaannya, sejauhmana batasan kebablasan itu? Bukankah bertoleransi terhadap non muslim karena memang berdasarkan perbedaan akidah dan keimanan. Bertoleransi karena kita mengakui ada perbedaan ritual dan keimanan. Jelas, tidak perlu ada batasan toleransi.

Baik kita akan membedah dalam kasus hadiah atau sumbangan Non muslim berupa hewan kurban untuk masjid Istiqlal. Bahkan Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Dr KH Nazaruddin Umar mengatakan hampir setengah dari total jumlah sapi kurban berasal dari pemberian non muslim. dari 50 ekor sapi, 22 ekor sapi merupakan kontribusi non muslim, yakni Gereja Katedral, Hotel Borobudur, dan komunitas Tionghoa.

Ibadah kurban adalah ibadah bagi umat Islam, bolehkah menerima bantuan dari non muslim untuk kepentingan ibadah? Bukankah ini merupakan toleransi kebablasan? Dalam kasus lain, misalnya, para non muslim di bulan Ramadan sudah terbiasa menyediakan makan untuk buka bersama. Apakah ini masuk dalam toleransi kebablasan karena buka puasa adalah termasuk ibadah? Apakah bantuan ini akan mengguncang iman umat Islam? Apakah semua bantuan ini akan menghancurleburkan akidah umat?

Dalam praktek yang lain, misalnya, umat Islam dari kelompok Banser menjaga Gereja saat perayaan Natal. Sebaliknya, Pecalang di Bali membantu ibadah umat Islam saat perayaan Idul Fitri. Pertanyaannya apakah membantu perayaan umat lain termasuk dalam kategori toleransi kebablasan seperti yang didengung-dengungkan para penjaga akidah.

Menarik sebenarnya untuk melihat kacamata toleransi kebablasan ini dari kelompok yang sering merasa terusik dengan indahnya kebersamaan. Nabi sebenarnya tidak terlalu terusik dengan indahnya perbedaan. Nabi terbiasa menerima hadiah dari penguasa non muslim. Nabi pun tidak menolaknya.

Pernah suatu ketika Nabi menerima hadiah misik dan ambar dari Raja Persia. Apa kata Nabi : Jangan pernah menolak hadiah. Di lain kesempatan Nabi pernah menerima penghormatan diplomasi dan hubungan kerjasama dari penguasa Mesir Muqawqis berupa budak Maria Alqibtiyah ( yang selanjutnya dibebaskan dan dinikahi oleh Nabi), seekor keledai putih bernama Duldul serta pakaian dan berupa barang lainnya.

Dalam konteks ini, sesungguhnya relasa antar Nabi dan penguasa non muslim dibaca sebagai bentuk membangun diplomasi dan hubungan yang baik. Interaksi dengan non muslim tidak berada dalam posisi saling mencurigai, apalagi dengan mencibir kebaikan. Tidak ada istilah toleransi yang kebablasan jika kita memahami sesungguhnya toleransi bertujuan dalam rangka membangun kerjasama. Terkadang toleransi memang berkaitan dengan kepentingan ibadah, tetapi orang yang toleran sudah tahu mana batas keyakinan dan ritual.

Tentu, kita harus baca, pemberian hewan kurban dari non muslim bukan dalam kacamata mereka ingin berkurban, tetapi sebagai bentuk relasi hubungan baik antar agama. Kurban tentu hanya sah ketika dilakukan oleh umat Islam. Tetapi pemberian itu kita maknai sebagai hadiah, bantuan dan sarana relasi yang baik antar umat beragama.

Sesungguhnya istilah toleransi kebablasan semacam menjadi benalu yang menghambat umat beragama untuk saling berinteraksi. Seolah ada garis merah yang membatasi ruang gerak interaksi antar umat beragama yang sejatinya berjalan harmonis dan sudah tahu batas dan koridor masing-masing. Intinya, interaksi antar umat beragama dengan toleransi tidak akan berpotensi mengganti iman masing-masing. Justru bertoleransi sebagai peneguhan iman dari masing-masing umat beragama.

Kebisingan istilah toleransi kebablasan hakikatnya muncul dari cara pandang yang paranoid terhadap keberagaman. Seolah harus ada batasan toleransi. Tidak ada toleransi yang kebablasan. Jika ada yang mencampuradukkan antar dua keyakinan, itu bukan toleransi, tetapi sinkretis dan mungkin konversi. Toleransi adalah prinsip yang tiada batasnya untuk saling menghargai dan menghormati serta mengakui hak iman, hak ibadah, dan hak sosial politik yang berbeda.

Facebook Comments