Halal bi Halal Kebangsaan; Merayakan Idul Fitri dalam Spirit Rekonsilasi

Halal bi Halal Kebangsaan; Merayakan Idul Fitri dalam Spirit Rekonsilasi

- in Narasi
116
0
Halal bi Halal Kebangsaan; Merayakan Idul Fitri dalam Spirit Rekonsilasi

Gema takbir terdengar di seluruh pelosok negeri. Menandai masuknya bukan Syawal dan berlakunya Ramadan. Ada perasaan getir, karena Ramadan telah beranjak pergi. Namun, ada perasaan gembira, hari kemenangan telah tiba. Hari yang dinanti oleh seluruh umat Islam dan masyarakat pada umumnya.

Idulfitri atau Lebaran adalah momen yang istimewa. Bukan hanya secara teologis, namun juga sosiologis. Dari sisi teologis, Idulfitri adalah hadiah dari Allah atas perjuangan umat Islam selama sebulan menahan hawa nafsu. Sedangkan dari sisi teologis, Lebaran adalah momentum untuk saling memaafkan dan mempererat silaturahmi.

Di saat lebaran, keluarga yang tinggal berjauhan akan saling berkunjung. Berbagai reuni digelar, menyambung relasi yang sempat terputus. Acara halal bihalal halal diadakan oleh seluruh kelompok dan lapisan masyarakat, dari pejabat hingga rakyat. Lebaran adalah momentum rekonsiliasi massal.

Tahun ini, momentum Lebaran bertepatan dengan usainya perhelatan politik 2024. Pemilu dan Pilpres susah usai. Namun, seperti dapat dilihat polarisasi di masyarakat belum sepenuhnya reda. Sidang sengketa hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi pun masih berjalan. Alhasil, berbagai narasi liar tentang hasil Pemilu dan Pilpres pun masih berseliweran di ruang publik digital kita.

Para elite politik sebenernya telah menunjukkan gestur berdamai. Misalnya, adanya pertemuan antara capres terpilih Prabowo Subianto dengan sejumlah elite parpol, antara lain Surya Paloh dan Megawati Sukarnoputri.

Pertemuan itu menandai adanya upaya rekonsilasi antara kubu pada Pilpres 2024 lalu. Namun, sayangnya di level akar rumput, masih banyak masyarakat yang bertahan dengan fanatisme politiknya. Padahal, kontestasinya sendiri sebenarnya telah usai.

Tilikan Historis Tradisi Halal bi Halal

Momen Idulfitri yang selalu identik dengan saling memaafkan dan halal bi halal ni idealnya bisa menjadi ajang untuk melakukan rekonsilasi nasional, terutama di level akar rumput. Masyarakat di Lebak akar rumput perlu memanfaatkan momentum lebaran untuk menggalang hal bi halal kebangsaan.

Secara historis, konsep halal bi halal memang muncul dengan latar belakang persoalan politik. Tradisi halal bi halal pertama kali dipopulerkan pada tahun 1948. Konteksnya kala itu bangsa Indonesia tengah menghadapi perpecahan bahkan disintegrasi, karena perpecahan di kalangan elite politiknya. Antara lain dengan munculnya berbagai pemberontakan, seperti Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia dan pemberontakan PKI di Madiun.

Adalah K. H. Wahab Hasbullah yang menjadi pencetus konsep halal bi halal untuk pertama kalinya (Masudi: 2020). Mbah Wahab mengusulkan pada Presiden Sukarno agar menggelar silaturahmi antar pemimpin faksi-faksi politik yang anti pemerintahan Sukarno saat itu. Namun ide silaturahmi itu ditolak Sukarno dengan alasan bahwa istilahnya terlalu umum.

Maka, Mbah Wahab mengusulkan istilah baru, yakni halal bi halal. Istilah ini didasari oleh argumen bahwa selama ini pertengkaran di antara elite politik itu hukumnya haram dalam Islam. Maka, agar bisa halal kembali, mereka para elite politik itu harus bertemu dan bermaafan satu sama lain. Dengan begitu, hubungan mereka akan kembali halal. Inilah asal usul kemunculan istilah halal bi halal.

Ide Kiai Wahab itu pun terealisasi. Sejumlah elite politik yang saling berseberangan diundang ke istana, saling bermaafan, dan bersepakat untuk mempersatukan kekuatan demi bangsa dan negara.

Halal bi Halal Modal Perjalanan Bangsa ke Depan

Pakar Alquran, Quraisy Shihab membaca istilah halal bi halal ini dari tiga sudut pandang; fiqih, kebahasaan, dan qurani. Dari sudut pandang fiqih, jelas bahwa halal adalah lawan kata haram. Halal bi halal, artinya kesalahan yang kita lakukan ke orang lain dulunya haram dan dosa kini menjadi halal dan tidak berdosa. Tentu dengan syarat keduanya saling rela memaafkan dengan kesadaran tanpa paksaan.

Dari sisi kebangsaan, halal bisa dimaknai sebagai upaya menyelesaikan persoalan, kesulitan, atau keruwetan yang berkaitan dengan relasi antarmanusia. Sedangkan sisi Qurani, halal adalah sesuatu yang Thayib alias baik dan menyenangkan. Artinya, halal bi halal akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi pelakunya. Dalam tinjauan psikologis, memaafkan itu sebenarnya adalah terapi agar kita terbebas dari kebencian yang merusak jiwa dari dalam.

Arkian, Idulfitri tahun ini yang bertebaran dengan momen pasca Pilpres 2024 idealnya bisa menjadi sarana halal bi halal kebangsaan. Yakni komitmen setiap kelompok masyarakat untuk saling memaafkan atas segala komentar, pendapat, opini atau sikap yang menyakiti perasaan orang lain. Kesadaran untuk saling memaafkan itu akan menjadi stimulus penting bagi perjalanan bangsa ke depan.

Polarisasi yang disisakan oleh kontestasi politik praktis tidak pelak telah membebani perjalanan bangsa membangun peradaban. Polarisasi ibarat kanker yang menggerogoti ketahahan bangsa dari dalam. Akibatnya, energi bangsa ini habis untuk debat kusir nirfaedah.

Halal bihalal halal kebangsaan akan mereduksi polarisasi yang ada di tengah masyarakat. Dengan begitu, kita akan lebih optimistik dalam menatap masa depan. Semoga.

Facebook Comments