Halalbihalal dan Ikhtiar Rekonsiliasi Nasional

Halalbihalal dan Ikhtiar Rekonsiliasi Nasional

- in Narasi
169
0
Halalbihalal dan Ikhtiar Rekonsiliasi Nasional

Sepanjang sejarahnya dari masa Nabi Muhammad sampai sekarang, Islam mengandung nilai-nilai universal dan lokalitas sekaligus. Keduanya saling isi mengisi dan berjalan beriringan sampai akhir jaman kelak. Di Madinah, Rasulullah tidak begitu saja membuang nilai-nilai lokal. Mana yang baik dan masih bisa diadopsi dalam ajaran Islam akan Rasul ambil. Yang jelek dan bertentangan dengan aqidah akan Rasul tolak.

Bahkan untuk mengubah tradisi yang sudah sangat mengakar, yaitu minum minuman keras, Rasulullah menerapkan metode gradual alias berangsur-angsur, tidak langsung ‘ketok palu haram’. Jadi tidak semua hal universal diterapkan begitu saja, atau sebaliknya, tidak semua lokalitas dibuang seluruhnya. Semua dipilah, dipadukan, dan diukur dalam balutan Islam yang rahmatan lil alamin.

Di Indonesia, kemesraan Islam dan budaya lokal mewujud dalam tradisi luhur yang bernama halalbihalal. Bersama ketupat, ziarah kubur, dan mudik, halalbihalal menjadikan Indonesia memiliki kekhasan tersendiri dalam memperingati Hari Raya Idulfitri. Pada 1948, ketika pusat pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta, Presiden Soekarno mencemaskan potensi perpecahan nasional pasca kemerdekaan. KH. Wahab Hasbullah yang saat itu menjadi salah satu tokoh sentral partai Masyumi berulang kali dimintai nasihat ketika terjadi perpecahan dan friksi antar golongan dan aliran politik oleh Presiden Sukarno.

Terkait keresahan soal perpecahan nasional itu, pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, KH. Wahab diundang ke Istana. Tokoh dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu menyarankan semua orang harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi saat itu memakai istilahHalal bi Halalyang kini dibakukan dalam KBBI menjadi Halalbihalal. Akhirnya, usul ini disetujui oleh Presiden dengan istilah Halalbihalal.

Catatan lain mengatakan bahwa sebelum dibakukan menjadi kata dalam bahasa Indonesia, halalbihalal sudah ditemukan dalam kamus bahasa Jawa-Belanda kumpulan Dr. Th. Pigeaud terbitan tahun 1938 yang persiapannya dimulai di Surakarta pada tahun 1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda pada tahun 1925. Halalbihalal dalam kamus tersebut terdapat pada entri huruf ‘A’ dengan kata ‘alal behalal’ dengan arti yang sama dengan arti ‘halalbihalal’ yang dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu acara maaf-memaafkan pada hari Lebaran dan merupakan suatu kebiasaan yang khas Indonesia. Artinya, KH. Wahab Chasbullah menitikberatkan pengetahuan lokal sebagai alat persatuan dan basis rekonsiliasi kebangsaan untuk saling memaafkan dan mengeliminasi masing-masing kesalahan dan prasangka.

Sampai saat itu, halalbihalal menjadi jalan damai kebangsaan yang merangkul semua elit Nusantara untuk memupuk kembali semangat persatuan dan kesatuan dalam rangka mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Meski demikian, banyak tokoh-tokoh agama Islam trans-nasional sibuk mempermasalahkan status tradisi ini. Mereka bahkan secara serius mengulik etimologi hingga terminologi halalbihalal. Padahal, halalbihalal memang bukan dari Arab dan bukan juga dari bahasa Arab. Idiom ini hanya berlaku di Indonesia dan merujuk hanya pada praktik yang berada di Nusantara.

Kekuatan kearifan lokal dan nilai Islam ini yang semakin lama membuat tradisi halalbihalal semakin populis di akar rumput. Saat ini, banyak ragam cara masyarakat Indonesia meminta, memberi, untuk membuka pintu maaf dan cakrawala perdamaian. Selain Halalbihalal, kemasannya bisa reuni, pengajian, temu kangen, silaturahmi, Kopdar Lebaran,open house, full house,dan lainnya. Tak hanya dilakukan pada 1-30 Syawal, namun banyak yang menggelarnya di luar bulan Syawal dalam rangka memberi dan meminta maaf.

Halalbihalal terus rutin diadakan, baik di level institusi negara, intansi pendidikan, di tengah masyarakat, bahkan di dalam internal keluarga. Di level pedesaan, beberapa RT bahkan memiliki anggaran sendiri untuk mengadakan halalbihalal warga RT ‘sekian’ beberapa hari setelah hari raya. Praktik ini turut membantu integrasi sosial dan mempererat persatuan dari akar rumput. Di level yang lebih mikro lagi, beberapa keluarga mengadakan temu akbar keluarga besar dalam rangka halalbihalal. Esensi pertemuan ini adalah untuk mengenal sesama keluarga sedarah dan merawat persaudaraan dari level yang paling kecil. Dalam ranah keagamaan, temu akbar ini lumrah disebut silaturahmi. Dalam perspektif kebangsaan, halalbihalal ini dilihat sebagai ikhtiar rekonsiliasi nasional.

Halalbihalal dengan demikian dilihat sebagai “lahan perdamaian” bagi bangsa yang mengalami paceklik kemesraan dan defisit persatuan. Tradisi yang hanya ada di Indonesia ini terbukti menjadi wahana mengkonversi kebencian menjadi perdamaian. Sebab, Halalbihalal merupakan bukan hanya soal memaafkan sebagai sesama individu, namun antar anak bangsa. Dalam Halalbihalal, yang ada hanya orang bahagia, tertawa, damai, dan menebar cinta. Halalbihalal memertemukan dua, tiga, empat, dan ratusan insan yang sama-sama ingin meminta dan memberi maaf. Semua duduk sama rata, baik itu Muslim, non-Muslim, pejabat, rakyat, halalbihalal tak mengenal sekat.

Dalam konteks Indonesia, ikhtiar rekonsiliasi nasional haruslah menjadi panggilan bersama untuk melampaui perbedaan dan membangun kembali semangat kebangsaan. Halalbihalal sebagai ajaran luhur dari tradisi kita, mengajarkan tentang kekuatan pemaafan dan keikhlasan. Dengan menggali semangat halalbihalal dan menerapkannya dalam konteks yang lebih luas, kita membangun fondasi bagi rekonsiliasi nasional yang kokoh dan berkelanjutan. Ini bukan sekadar impian, melainkan panggilan moral untuk kita semua. Kita tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik.

Facebook Comments