Hardiknas 2025: Menjadikan Pendidikan sebagai Alat Melawan Ideologi Kekerasan

Hardiknas 2025: Menjadikan Pendidikan sebagai Alat Melawan Ideologi Kekerasan

- in Faktual
19
0
Hardiknas 2025: Menjadikan Pendidikan sebagai Alat Melawan Ideologi Kekerasan

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional sebagai penghormatan kepada Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan nasional yang mendefinisikan pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Namun, dalam perjalanannya, pendidikan di Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks, terutama dalam menghadapi derasnya arus ideologi kekerasan yang mengkhawatirkan.

Ideologi kekerasan di era sekarang tidak lagi hadir dalam bentuk fisik semata. Ia menyusup melalui narasi-narasi yang membalut kekerasan dengan wajah ideologis yang membius. Teknologi dan internet telah mempercepat persebaran gagasan-gagasan yang mengandung kebencian, intoleransi, bahkan ajakan untuk meniadakan perbedaan.

Generasi muda, khususnya pelajar dan mahasiswa, menjadi target utama karena mereka adalah kelompok yang masih dalam proses mencari identitas dan makna hidup. Tanpa fondasi pendidikan yang kuat, mereka rentan terseret dalam arus radikalisme dan kekerasan.

Kita perlu menyadari bahwa ideologi kekerasan tidak selalu muncul dari kemiskinan atau kurangnya akses pendidikan. Banyak pula yang justru lahir di lingkungan pendidikan formal namun tidak dibekali nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan yang cukup.

Dalam beberapa kasus, radikalisme justru tumbuh subur di ruang kelas, dalam forum-forum kajian yang tertutup, atau bahkan melalui konten-konten yang tersebar di grup diskusi daring. Ini menjadi tamparan dam tantangan bagi dunia pendidikan bahwa kecerdasan intelektual saja tidak cukup, melainkan harus diiringi dengan kecerdasan moral dan sosial.

Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah proses memerdekakan manusia dari belenggu ketidaktahuan, ketakutan, dan kekuasaan yang menindas. Namun, dalam praktiknya, sistem pendidikan kita masih banyak yang justru menjadi ruang yang menormalisasi kekerasan dalam bentuk lain—dari perundungan antarsiswa, kekerasan simbolik oleh guru, hingga materi-materi ajar yang tidak sensitif terhadap keberagaman. Di sinilah kita perlu melakukan refleksi kritis. Pendidikan tidak boleh lagi sekadar alat reproduksi pengetahuan, tetapi harus menjadi ruang untuk menyemai nilai-nilai toleransi dan empati.

Reformasi kurikulum menjadi langkah penting yang tidak bisa ditunda. Pendidikan kewargaan harus dihidupkan kembali sebagai arena dialog, bukan hanya hafalan. Siswa perlu diajak memahami realitas sosial dan tantangan kebhinekaan melalui pendekatan yang kontekstual dan partisipatif. Pendidikan tentang toleransi tidak cukup dengan slogan, melainkan melalui praktik langsung di lingkungan sekolah—baik dalam interaksi sehari-hari maupun dalam kegiatan pembelajaran. Guru harus dibekali kemampuan untuk mendeteksi potensi radikalisme serta didukung dengan pelatihan yang memadai dan komprehensif untuk menguatkan kapasitas mereka sebagai agen perdamaian di lingkungan pendidikan kita.

Momentum Hardiknas 2025 harus dijadikan titik balik untuk melakukan evaluasi dan reformasi menyeluruh terhadap arah pendidikan kita. Apakah pendidikan kita sudah cukup membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir mandiri dan bertindak bijaksana? Apakah sekolah dan kampus sudah menjadi ruang aman dan inklusif bagi semua? Apakah guru dan orang tua sudah diberi bekal untuk membina karakter dan nilai pada anak-anak? Pertanyaan-pertanyaan ini harus dijawab dengan aksi nyata, bukan sekadar slogan tahunan.

Melawan ideologi kekerasan bukan hanya tugas aparat keamanan, tetapi juga tugas dunia pendidikan. Justru pendidikanlah yang memiliki daya jangkau paling dalam dan paling berkelanjutan. Seorang teroris bisa dihukum atau ditangkap, tetapi jika gagasannya tetap hidup di benak generasi muda, maka berarti kita belum menyelesaikan akar persoalan yang ada..

Maka dari itu, investasi terbaik bangsa ini adalah pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan. Pendidikan yang menanamkan cinta, bukan kebencian. Pendidikan yang membangun nalar, bukan doktrin buta. Pendidikan yang menyatukan, bukan memecah belah.

Hari Pendidikan Nasional bukan hanya seremoni untuk mengenang masa lalu, tetapi juga momentum untuk menatap masa depan dengan lebih waspada dan optimis. Pendidikan adalah alat paling ampuh untuk melawan kekerasan karena ia bekerja di ranah paling dalam: hati dan pikiran manusia. Jika kita benar-benar ingin membangun Indonesia yang damai dan toleran maka perbaikannya harus dimulai dari ruang-ruang belajar kita di sekolah.

Mari jadikan Hardiknas 2025 sebagai awal dari gerakan nasional membumikan pendidikan damai secara berkelanjutan. Dari sekolah, kampus, rumah, hingga dunia maya—setiap ruang adalah medan perjuangan untuk melawan kebencian dengan pengetahuan, kekerasan dengan kasih sayang, dan fanatisme dengan kebijaksanaan. Pendidikan bukan hanya tentang masa depan individu, tapi juga masa depan bangsa ini ke depan.

Facebook Comments