Setiap tanggal 2 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah momen untuk mengingat bagaimana perjuangan bangsa dalam menyediakan akse pendidikan bagi warganya. Tanggal 2 Mei dipilih karena bertepatan dengan hari lahir Ki Hadjar Dewantara, tokoh nasional yang berjuang membangun fondasi pendidikan nasional.
Pendidikan adalah tugas pokok bagi semua bangsa dan negara. Bagi negara yang pernah dijajah seperti Indonesia, pendidikan adalah agenda penting setelah revolusi kemerdekaan. Kemerdekaan politik dan teritorial dari penjajah bukanlah titik akhir perjuangan revolusi. Setelah merdeka, kita dihadapkan pada tugas berat mengentaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan.
Pendidikan, sebagaimana dikatakan oleh Paulo Freire adalah jalan untuk membebaskan manusia dari ketertindasan. Sedangkan menurut al Ghazali, pendidikan serupa obor yang membawa cahaya terang di tengah lorong yang gelap. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga setiap bangsa rela menginvestasikan banyak hal untuk memajukan pendidikan.
Di era modern, pendidikan menjadi satu variabel penting kemajuan sebuah negara. Negara maju, bisa dipastikan memiliki kualitas pendidikan yang juga mumpuni. Lalu, bagaimana dalam konteks Indonesia? Harus kita akui bahwa pendidikan nasional kita masih banyak dirundung masalah. Kurikulum yang sering berubah, minimnya fasilitas pendidikan, kualitas pengajar yang memperihatinkan, banyaknya sekolah rusak, dan belum meratanya akses pendidikan adalah sedikit dari segunung problem dalam dunia pendidikan kita.
Meski demikian, kita patut optimistik bahwa kualiatas pendidikan nasional kita akan terus membaik. Salah satu yang membuat kita optimistik adalah terlibatnya aktor non-negara (non-state actor) dalam mengembangkan dunia pendidikan nasional. Salah satu yang paling berkontribusi dalam hal ini adalah ormas-ormas keislaman. Sebut saja diantaranya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, dan sebagainya.
Muhammadiyah sebagai ormas Islam yang dikenal dengan dakwah sosialnya telah menjelma menjadi sebuah gerakan berbasis masyarakat sipil yang kokoh dan independen. Dalam konteks pendidikan, Muhammadiyah menjadi ormas dengan kepemilikan lembaga pendidikan paling banyak di Indonesia. Data mutakhir menyebutkan bahwa Muhammadiyah memiliki 3. 334 lembaga pendidikan. Meliputi 1. 904 sekolah dasar, 1. 128 SMP, 558 SMA, dan 554 SMK. Selain sekolah, Muhammadiyah juga memiliki 117 perguruan tinggi.
Jumlah itu dipastikan akan terus bertambah. Muhammadiyah sebagai ormas yang fokus pada dakwah sosial menyumbang andil penting pada kemajuan pendidikan di Indonesia. Salah satu kontribusi pentingnya adalah menyediakan akses pendidikan di daerah-daerah yang belum terdapat sekolah negeri. Selain itu, Muhammadiyah juga berperan dalam mengakselerasikan kualitas pendidikan nasional. Banyak sekolah Muhammadiyah hari ini yang dikenal memiliki kualitas akademik yang mumpuni.
Selain Muhammadiyah, NU juga berperan penting dalam hal pendidikan nasional. Hingga saat ini, NU menaungi tidak kurang dari 22 ribu madrasah dan sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia. Kekuatan NU sebagaimana kita tahu adalah jaringan pesantrennya yang mengajarkan keilmuan Islam berbasis pada turats atau teks-teks klasik. Belakangan, dalam beberapa tahun ini NU juga memodernisasi lembaga pesantrennya dengan memasukkan kurikulum pendidikan nasional. Inilah jihad al tarbiyah yang dilakukan ormas-ormas Islam. Yakni jihad mendidik bangsa dengan spirit memajukan peradaban.
Jihad tarbiyah merupakan ajaran Islam. Dalam banyak hadist disebutan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi tiap muslim. Menuntut ilmu adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Dan, bahwa siapa saja yang meninggal dalam upaya mencari ilmu, maka dihitung sebagai mati syahid. Jadi, istilah Jihad al Tarbiyah ini memang orisinil dari Islam, bukan istilah yang mengada-ada.
Jika dilihat dari sisi sejarah, ormas keislaman memiliki rekam jejak yang panjang dalam pendidikan nasional. Cikal bakal sekolah Muhammadiyah misalnya, sudah dimulai sejak tahun 1911 ketika Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan Diniyyah. Sedangkan di NU, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan sudah dimulai sejak tahun 1400-an.
Lantas, apa saja wujud konkret jihad al tarbiyah ormas-ormas keislaman dalam pendidikan nasional kita? Pertama, jelas bahwa ormas-ormas Islam menyediakan akses pendidikan bagi masyarakat. Diakui atau tidak, negara belum sepenuhnya mampu menyediakan akses pendidikan ke seluruh masyarakat. Keberadaan sekolah negeri pun terbatas di beberapa wilayah. Ditambah dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang kian tinggi.
Sekolah swasta yang didirikan oleh ormas-ormas keislaman menjadi jawaban atas belum meratanya akses pendidikan tersebut. Kedua, ormas-ormas keislaman menyumbang andil pada sistem kurikulum pendidikan berbasis agama yang mengajarkan moral dan etika. Sekolah agama selama ini menjadi salah satu lembaga pendidikan yang fokus pada pembentukan moral dan etika. Banyak tokoh nasional dan pemimpin bangsa lahir dari lembaga pendidikan berbasis agama.
Ketiga, ormas-ormas keislaman menyumbang peran dalam melahirkan para pengajar atau guru berkualitas. Ormas Islam seperti Muhammdiyah dan NU memiliki organisasi guru yang tidak hanya menjadi tempat berserikat, namun juga menjadi sarana pelatihan dan pengembangan keterampilan dan wawasan guru serta pengajar. Alhasil, banyak guru-guru dari lembaga pendidikan yang dimiliki ormas Islam mampu tampil di kancah nasional bahkan internasional. Hari ini, banyak guru dan dosen dari lembaga pendidikan Muhammadiyah mendapat prestasi dan penghargaan dari dunia internasional.
Keempat, yang tidak kalah pentingya adalah lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan ormas Islam, terutama Muhammadiyah dan NU menjadi pilar penting dalam mengembangkan moderasi beragama di Indonesia. Sekolah dan kampus Muhammadiyah di banyak kota-kota besar kerap identik dengan lembaga pendidikan modern yang mengajarkan prinsip toleransi dan menghargai kebinekaan.