Hari Nusantara: Momentum Meneguhkan Dakwah Moderat Berorientasi Kebangsaan

Hari Nusantara: Momentum Meneguhkan Dakwah Moderat Berorientasi Kebangsaan

- in Narasi
1145
0
Hari Nusantara: Momentum Meneguhkan Dakwah Moderat Berorientasi Kebangsaan

Selama ini, ketika kita membicarakan tentang sosok para pendiri bangsa, fokus kita kerap hanya tertuju pada nama-nama “besar” seperti HOS. Tjokoroaminoto, Tan Malaka, dan Soekarno. Hal itu sebenarnya tidak salah karena merekalah yang berhasil menghimpun kekuatan masyarakat untuk melawan penjajahan. Dalam istilah Indonesianis Herbert Faith, mereka ialah sosok solidarity maker. Satu hal yang kerap kita lupa ialah selain para solidarity maker itu, juga ada sosok-sosok pendiri bangsa lain yang oleh Faith disebut sebagai administrator-teknokratik. Sosok pendiri bangsa berkarakter administrator-teknokratik ini kerap tidak populer dalam buku-buku sejarah, padahal perannya cukup signifikan dalam kemerdekaan bangsa.

Salah satu sosok pemimpin administrator-teknokratik ialah Ir. Djuanda Kartawijaya. Mengutip Airlangga Pribadi (2020), Ir. Djuanda ialah sosok yang berperan penting dalam menerjemahkan jargon nasionalisme dan tanah air yang tidak hanya termanifestasikan ke dalam perasaan senasib-sepenanggunan, melainkan juga berdaulat atas wilayah bumi, tanah dan air secara formal. Deklarasi Djuanda ialah pernyataan tegas Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago) sekaligus menegaskan bahwa wilayah kedaulatan teritorinya ialah 12 mil dari batas laut. Selain itu, Ir. Djuanda juga berperan mengarsiteki kelahiran Angkatan Laut Indonesia. Dalam konteks pemerintahan, Ir. Djuanda juga memperkenalkan sistem pemerintahan desentralistik yang hari ini mengejawantah dalam sistem pemerintahan otonomi daerah.

Dari sejarahnya, Deklarasi Djuanda dicetuskan pada 13 Desember 1957 dan diperjuangkan di dunia internasional. Lalu pada tahun 1982, PBB melalui konvensi bertajuk United Nations Convetion On The Law of The Sea/ UNCLOS mengakui deklarasi tersebut. Sejak saat itu, kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan pun diakui secara global. Di tahun 2020 ini, ketika usia Republik Indonesia sudah menginjak ke-75 tahun, pemaknaan Nusantara kiranya tidak hanya menyangkut soal kedaulatan dalam konteks teritori geografis. Lebih dari itu, Nusantara idealnya dimaknai juga sebagai sebuah paradigma kedaulatan secara ekonomi, politik, dan sosial, tidak terkecuali dalam hal keagamaan. Menyangkut poin terakhir (keagamaan) tersebut, saat ini kita tengah menghadapi berbagai macam ancaman. Salah satunya ialah bangkitnya fanatisme keagamaan (Islam) yang direpresentasikan dalam corak beragama yang kaku, tertutup dan intoleran. Fenomena fundamentalisme-konservatisme agama itu tidak pelak telah melahirkan berbagai residu sosial, mulai dari perpecahan bangsa hingga suburnya paham atau gerakan radikal yang anti-NKRI.

Belajar dari Islamisasi Nusantara untuk Meneguhkan Moderasi Agama dan Wawasan Kebangsaan

Di tengah situasi yang demikian ini, kita patut menengok ke belakang, tepatnya pada momentum ketika Islam pertama kali menyebar di Nusantara. Islamisasi di Nusantara bisa dikatakan sebagai sebuah capaian dakwah Islam paling membanggakan sepanjang periode awal perkembangan Islam. Pasalnya, islamisasi di kawasan Nusantara nyaris tanpa meninggalkan cerita kelam seperti kekerasan, konflik atau peperangan sebagaimana terjadi di banyak wilayah. Hal ini dimungkinkan terjadi karena model dakwah Islam di Nusantara yang lebih mengedepankan pendekatan budaya dan akomodatif terhadap tradisi lokal. Para penyebar Islam awal di Nusantara pada dasarnya telah meletakkan dasar-dasar perikehidupan keberagamaan yang selaras dengan kemasyarakatan dan kebangsaan.

Corak dakwah moderat dan berperspektif kebangsaan inilah yang saat ini hilang dari kehidupan keberagamaan kita. Kian ke sini wajah dakwah Islam justru kian menampilkan ekspresi yang tidak ramah pada perbedaan, anti-pada lokalitas bahkan bertentangan dengan komitmen kebangsaan yang diikat dalam NKRI dan Pancasila. Model dakwah provokatif dan memecah-belah seolah telah menjadi fenomena umum dalam kehidupan keberagaman kita. Alhasil, agama yang idealnya menyebarkan nilai kebaikan dan kemanusiaan universal lantas terjebak pada sentimen kebencian dan keterpecah-belahan. Di saat yang sama, corak dakwah provokatif juga telah melunturkan nasionalisme dan wawasan kebangsaan di kalangan masyarakat.

Berangkat dari situasi itulah, Hari Nusantara ini sepatutnya bisa menjadi momentum bagi umat Islam untuk kembali pada spirit keberagamaan moderat yang sebetulnya merupakan ciri keislaman Nusantara. Paradigma kenusantaraan sebagai sebuah pernyataan kedaulatan bangsa kiranya bisa diafirmasi ke dalam konteks keberislaman kita hari ini. Yakni bahwa Islam Indonesia ialah Islam yang berakar pada corak dakwah para pendakwah periode awal seperti Walisongo dan sejenisnya serta bertumpu pada pemikiran para ulama Nusantara yang dikenal memiliki kearifan dalam menyikapi realitas sosial dan kebangsaan.

Islam Nusantara dalam banyak hal memang memiliki perbedaan dengan corak Islam di kawasan Timur Tengah atau Afrika atau kawasan Sub-Sahara. Perbedaan itu bukanlah penyelewengan karena hanya terjadi dalam konteks syariat dan bukan hakikat atau aqidah. Perbedaan syariat itu merupakan bagian dari kompromi Islam terhadap realitas sosial Nusantara yang multikultur dan multireliji. Sebagaimana disampaikan oleh M. Abed al Jabiri dalam buku Kritik Wacana Teologi Islam bahwa Islam terdiri atas aqidah dan syariat yang keduanya memiliki dua sifat yang berbeda.

Aqidah bersifat tetap alias tidak berubah (al tsabit). Misalnya, konsep tauhid alias keesaan Allah, rukun iman atau pun rukun Islam yang tetap berlaku dimana pun dan kapan pun. Berbeda halnya dengan syariat yang bersifat fleksibel, kontekstual dan dinamis alias berubah-ubah (al mutaghayyirah). Maka, hukum Islam (fiqh) yang niscaya akan selalu mengalami pembaruan seiring dengan dinamika ruang dan waktu. Contohnya saja, hukum jual beli yang harus terus-menerus ditafsirkan ulang mengingat adanya perubahan tatacara manusia dalam berniaga.

Moderasi agama yang merujuk pada corak dakwah Nusantara ialah mencari titik temu antara konsep syariat Islam dengan kultur lokal yang sebelumnya telah mapan. Disamping juga mencari jalan tengah antara ajaran Islam dan ideologi negara. Dua entitas itu tidak seharusnya bersikap dominan apalagi arogan. Agama di satu sisi tidak pantas memaksakan kehendaknya dengan memberangus kultur lokal, apalagi jika kebudayaan itu mengandung nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Begitu pula agama tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk mengubah bentuk dan dasar negara yang sebelumnya telah disepakati bersama para pendiri bangsa. Bersikap moderat, sebagaimana makna dasarnya ialah berupaya menghindari titik ekstrem dan selalu mencari titik kompromistis yang bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Facebook Comments